Gerakan Guru dan Sekolah Hijau Mudahkan Transisi Energi

Gerakan Guru dan Sekolah Hijau Mudahkan Transisi Energi

Ilustrasi siswa belajar di kelas | Pavel Danilyuk/Pexels

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Seiring melandainya kasus positif Covid-19, sebagian sekolah telah mengadakan pertemuan belajar mengajar dengan metode tatap muka. Pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka (PTM). Melalui Surat Keputusan Bersama Empat Menteri telah disusun panduan penyelenggaran kegiatan sekolah bertahap pulih menuju PTM 100% seperti sebelum pandemi.

Kegiatan belajar mengajar secara PTM memerlukan dukungan energi listrik. Jaminan pasokan listrik menjadi penting untuk mendukung kegiatan belajar mengajar yang nyaman dan kondusif. Untuk pengoperasian komputer, jaringan internet di sekolah, proyektor, laptop siswa, lampu penerangan, mesin AC, atau menggerakkan kipas angin dibutuhkan listrik. Penggunaan listrik, yang sebelumnya minim bahkan mendekati nol selama pandemi, segera normal kembali. 

Penggunaan AC, lampu, TV peraga dalam pertemuan tatap muka di sebuah sekolah di Bekasi, Jawa Barat | Antara/Fakhri H

Pembangkit listrik yang didominasi pembangkit fosil akan digenjot kembali. Batubara, gas, bahan bakar minyak yang sempat dikurangi selama pembelajaran jarak jauh akan kembali dibakar. 

Konsekuensinya, emisi karbon dalam jumlah besar akan dilepaskan ke udara. Emisi ini akan bertumpuk di atmosfir dan memicu pemanasan global. Padahal, laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengungkap bahwa emisi karbon telah membuat bumi semakin panas dan semakin tidak layak huni.Perlu ada upaya mengurangi emisi karbon secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya. 

Berdasarkan penelitian Rahmawati dkk (2020), SMP Negeri 3 Sungai Raya menggunakan listrik sebanyak 4000 kilowatt jam (kWh) per bulan. Seandainya seluruh listrik ini dipasok dari PLTU batubara, maka penggunaan listrik tersebut setara 4 ton emisi setara CO2 per bulan. Bayangkan jika semua sekolah berkontribusi pada emisi sebesar ini. Untuk itulah perlu upaya mengurangi emisi karbon dari kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Hijaukan sekolah dengan PLTS atap

Melonjaknya penggunaan listrik di sekolah dan potensi emisi karbon yang memperburuk pemanasan global dapat diminimalkan. Penggunaan energi diarahkan ke energi rendah karbon yang lebih ramah lingkungan.

Atap-atap sekolah dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Jam operasional sekolah yang dimulai dari pagi hingga sore (07.00 - 15.00 atau 8.00 -16.00) selaras dengan ketersediaan pancaran sinar matahari.

Gerakan sekolah hijau dengan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap akan sangat efektif menurunkan emisi karbon. Luasan atap yang tersedia mungkin tidak akan cukup memenuhi kebutuhan listrik sekolah. Namun, setidaknya sebagian kebutuhan listrik bisa digantikan dengan energi matahari dari panel surya. 

Emisi karbon dari panel surya relatif kecil, hanya sekitar 50 gram setara CO2 per kWh. Bandingkan dengan emisi dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara – yang saat ini memasok sekitar 60% kebutuhan listrik Indonesia – sebesar 1000 gram setara CO2 per kWh. Jadi, jelas bahwa energi surya lebih ramah lingkungan.

Potensi pengurangan emisi karbon

Laporan Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 217.000 jumlah sekolah di Indonesia. Bayangkan jika sekolah-sekolah dipasangi PLTS Atap. 

Pemasangan panel surya di atap ratusan ribu sekolah akan berkontribusi signifikan pada bauran energi bersih. Apalagi jumlah sekolah masih akan terus bertambah. 

Jika setiap sekolah dipasangi PLTS atap sebesar 1 kiloWatt peak (kWp) saja, maka dengan potensi produksi listrik 3,4 kWh per kWp, akan diperoleh energi surya sebanyak 270 juta kWh per tahun. Ini setara dengan pengurangan emisi karbon sekitar 270 ribu ton per tahun.

Sebagai contoh sukses, dengan pemasangan PLTS atap 15 kWp, Global Sevilla School yang berlokasi di Jakarta Barat mengklaim berkontribusi menurunkan emisi CO2 sebesar 19,7 ton per tahun.

Panel surya pada atap Global Sevilla School yang berlokasi di Puri Indah Campus, Jakarta Barat | xurya.com

Pada hari Senin hingga Jumat, energi dari panel surya dapat digunakan langsung. Ketika akhir pekan bisa diekspor ke jaringan PLN. Atau misalnya digunakan oleh rumah ibadah terdekat. Misalnya digunakan oleh Gereja Katolik, yang umumnya satu komplek dengan bangunan sekolah-sekolah Yayasan Katolik, untuk kegiatan ibadah di Sabtu dan Minggu. 

Selain itu, guru dapat mengajarkan cara kerja energi matahari diubah menjadi energi listrik menggunakan peraga PLTS atap tersebut. Dengan melihat langsung, siswa menjadi lebih mudah memahami. Lebih jauh lagi sebagai bahan praktikum keahlian, sebagaimana di SMK Negeri 1 Kemang, Bogor.

Seorang guru menjelaskan perawatan PLTS atap kepada siswa di SMK N 1 Kemang, Bogor | JPNN/Ricardo

Pentingnya peran guru

Semangat dan inisiatif untuk mengurangi emisi karbon juga dapat diawali dari sekolah. Sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa. Edukasi tentang pentingnya transisi energi untuk menyelamatkan bumi dapat dilakukan di sekolah. Kurikulum diarahkan untuk memberi wawasan transisi energi bersih sebagaimana edukasi penghematan energi yang cukup berhasil.

Pelibatan guru dalam edukasi transisi energi merupakan langkah yang strategis. Mirip dengan para ulama atau tokoh agama, guru juga menjadi sumber informasi yang didengarkan oleh masyarakat karena dipercaya. Guru dengan segala keterbatasannya  tetap dianggap sebagai pelopor di tengah masyarakat (Gaffar dalam Supriadi 1999). 

Pemerintah dapat memberikan edukasi dan sosialisasi kepada para guru dan staf sekolah betapa pentingnya transisi energi dan penggunaan energi bersih. Bisa melalui pelatihan dan pendidikan tambahan. Mereka bisa diajak berkunjung ke pembangkit energi terbarukan. Mereka bisa diajak studi banding ke sekolah yang berhasil dalam program edukasi atau memanfaatkan energi bersih. 

Harapannya, pengetahuan tersebut dapat diteruskan oleh para siswa didiknya. Bayangkan, ada sebanyak 24,3 juta orang siswa pada tahun ajaran 2021/2022. Jika semua bisa dibekali dengan edukasi yang baik, maka di masa depan pun mereka akan menjadi pemimpin yang berwawasan lingkungan.

Bagaimana pendanaannya?

Saat ini ongkos pemasangan panel surya sebesar Rp 15 juta per kWp. Jika seluruh sekolah di Indonesia dipasangi panel surya sebesar 1 kWp, maka dibutuhkan dana sebesar Rp 3,3 triliun.

Sekolah dapat mengajukan dana insentif Sustainable Energy Fund pemasangan PLTS atap yang disediakan Pemerintah, sebesar Rp 9 juta per kWp

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga dapat berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mendorong gerakan sekolah hijau ini. 

Dana untuk program pendidikan sangat besar porsinya dalam APBN. Dalam 5 tahun terakhir, Kemendikbudristek mendapat alokasi lebih dari Rp 400 triliun per tahun. Hanya dengan menyisihkan 0,8 % dari anggarannya untuk mendanai PLTS Atap 1 kWp per sekolah, Kemendikbudristek dengan mudah membiayai program ini. 

Jika para guru berhasil mengedukasi para siswa, maka akan ada 24,3 juta calon pemimpin berwawasan lingkungan. Gerakan sekolah hijau, dengan PLTS atap pada 217 ribu sekolah, akan berkontribusi nyata dalam upaya Pemerintah meningkatkan bauran energi terbarukan yang ditargetkan 23% pada tahun 2025.