Optimalisasi Potensi Bioethanol Dan Biofertilizer Berbasis Limbah Pertanian Siwalan Melalui Integrasi Destilasi Berbasis Symbiotic System Sebagai Dukungan Pertanian Berkelanjutan

Optimalisasi Potensi Bioethanol Dan Biofertilizer Berbasis Limbah Pertanian Siwalan Melalui Integrasi Destilasi Berbasis Symbiotic System Sebagai Dukungan Pertanian Berkelanjutan

Integrasi Destilasi Berbasis Symbiotic System Sebagai Dukungan Pertanian Berkelanjutan

#SobatHebatIndonesiaBaik

#JadiKontributorJadiInspirator

#BerbagiMenginspirasi

#SohIBBerkompetisiArtikel

 

Peningkatan jumlah penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia disebabkan oleh semakin meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2019), jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai lebih dari 133 juta unit pada tahun 2019. Jumlah kendaraan naik sekitar lima persen sejak dua tahun lalu. Pada tahun 2019, jumlah kendaraan naik bertambah 7.108.236 unit atau meningkat 5,3 persen menjadi 133.617.012 unit dari tahun sebelumnya sebanyak 126.508.776 unit. Jumlah kendaraan di tahun 2018 naik 5,9 persen dari tahun 2017 sejumlah 118.922.708 unit. Peningkatan jumlah penggunaan kendaraan berakibat pada semakin tingginya pencemaran udara yang dapat mengakibatkan efek gas rumah kaca. Kemudian, menurut Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (2019), total emisi gas rumah kaca Indonesia telah mencapai 1.808 juta CO2, dimana sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya berkontribusi sebesar 60,44% diikuti sektor energi dan transportasi sebesar 31,93%, sektor limbah sebesar 5,44% dan sektor industri dan penggunaan produk sebesar 2,20%.

 

Peningkatan kuantitas kendaraan bermotor menjadi faktor pemicu efek gas rumah kaca | Pixabay (al-grishin)
Peningkatan kuantitas kendaraan bermotor menjadi faktor pemicu efek gas rumah kaca | Pixabay (al-grishin)

Berdasarkan Paloboran, et al. (2016), penggunaan bioethanol sebagai bahan bakar altenatif, juga mampu mengurangi konsumsi bahan bakar hingga 13,42 % dan meningkatkan termal efisiensi 14,67% artinya menghemat pengguanaan bahan bakar dan mampu meningkatakan perporma dari kendaran, dimana penambahan 30% bioethanol pada bahan bakar menunjukan hasil 7,47 HP dan 5,51 pada torsi Nm menunjukkan hasil yang baik. Penambahan 30% bioethanol menunjukkan penggunaan lebih hemat dari penggunaan bahan bakar 100% dilihat dari jarak yang cukup jauh pada pengujian.

 

Bioethanol sebagai solusi bahan bakar ramah lingkungan | Pixabay (ckstockphoto)
Bioethanol sebagai solusi bahan bakar ramah lingkungan | Pixabay (ckstockphoto)

Salah satu bahan bergula yang dapat dimanfaat menjadi bahan baku pembuatan bioethanol adalah nira siwalan (Borassus Flabellifer L.) yang diperoleh dari pohon palem siwalan. Pohon palem siwalan ini banyak terdapat di pesisir pantai Jawa Timur. Pohon siwalan dapat menghasilkan 6-10 liter nira per hari dengan kandungan gulanya sebesar 10,96%. Satu pohon siwalan dapat menghasilkan 100 liter nira dan 14.800 liter nira dapat diperoleh dari satu hektar tanaman. Nira siwalan biasanya difermentasi untuk dijadikan minuman beralkohol tradisional, seperti tuak dan cuka. Jika dibandingkan dengan tuak, pembuatan bioethanol belum pernah dimunculkan sebagai solusi alternatif dalam menyelesaikan permasalahan limbah nira siwalan (nira basi). Padahal limbah nira siwalan tersebut efektif dalam pembuatan bioethanol karena kandungan yang dimiliki nira siwalan. Dari segi kualitas dan kuantitas tersebut, nira siwalan memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan ethanol biofuel dikarenkan permintaan bahan bakar bioethanol yang meningkat. Kondisi melimpahnya limbah pertanian siwalan (nira basi) perlu adanya pengoptimalan potensi melalui sistem pengolahan bioethanol yang terintegrasi, sehingga menghasilkan solusi alternatif yang terbaik dan bernilai positif.

Potensi nira siwalan sebagai bahan baku bioethanol berkualitas | Pexels (Kindel Media)
Potensi nira siwalan sebagai bahan baku bioethanol berkualitas | Pexels (Kindel Media)

Bioethanol (C2H5OH) dari nira siwalan melalui beberapa tahap, yaitu proses fermentasi dan proses destilasi (penyulingan). Pada proses fermentasi adanya komposisi bahan baku seperti banyaknya nira siwalan dengan campuran ragi. Fermentasi bioethanol dari nira siwalan dapat dilakukan dengan bantuan ragi anggur (Saccharomyces Cerevisiae) yang dapat menghasilkan kondisi optimal pada suhu 32ᵒC, pH 5,5, dan waktu fermentasi 48 jam. Dilakukannya pemanasan pada proses destilasi dengan temperatur berbeda-beda untuk mengetahui hasil kadar bioethanol dari nira siwalan dengan tujuan untuk menghasilkan bioethanol yang paling berkualitas. Berdasarkan Arifin (2019), hasil destilasi yang dilakukan menentukan kadar bioethanol yang diperoleh karena destilasi yang dihasilkan kurang dari 100 ml maka untuk menentukan kadar bioethanol ditetapkan berdasarkan rumus grafitasi menggunakan bobot jenis dan Kadar Farmakope Indonesia dan disebutkan bahwa nilai dentitas bioethanol dunia adalah 0,7893 gr/mol sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa semaki sedikit lama destilasi maka semakin dia mendekati nilai kesempurnaan bioethanol.

 

Integrasi fermentasi dan destilasi berbasis symbiotic system sebagai dukungan pertanian yang berkelanjutan | Pexels (Tom Fisk)
Integrasi fermentasi dan destilasi berbasis symbiotic system sebagai dukungan pertanian yang berkelanjutan | Pexels (Tom Fisk)

Fermentasi air nira siwalan dapat mempengaruhi kualitas kadar bioethanol dengan lama fermentasi 5 hari dan temperatur terbaik untuk proses destilasi air nira siwalan dengan kadar tertinggi (91%) pada temperatur antara 70-80ᵒC. Sehubungan dengan lama fermentasi dan temperatur yang optimal dalam mengoptimalkan kadar bioethanol, maka diperlukannya optimalisasi integrasi fermentasi dan destilasi berbasis symbiotic system dalam mengoptimalkan kinerja pada tahap fermentasi dan tahap destilasi sehingga dapat meningkatkan kadar bioethanol yang dihasilkan dengan menggunakan biaya operasional yang terminimalisasi.