Nuklir, Bencana Menjadi Anugerah

Nuklir, Bencana Menjadi Anugerah

Energi Baru Tanpa Mengorbankan Lingkungan

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel #Makin Tahu Indonesia

Pada tahun 2017 film Blade Runner 2049 resmi dirilis secara publik. Selain konflik antar tokoh yang intens, film Blade Runner 2049 sendiri bercerita tentang bagaimana keadaan iklim di masa depan. Sang sutradara, Denis Villeneuve, secara singkat berkata bahwa “Ini tentang iklim ketika ekosistem kolaps. Artinya, dunia jadi sedikit lebih suram dan gelap.” Dalam film ini, ada sebuah cuplikan menarik di salah satu padang California yang dijadikan sebagai tempat “memanen” cahaya matahari dengan panel surya. Namun, kondisi padang tersebut digambarkan cukup suram tanpa ada kehidupan flora atau fauna, yang ada hanya sekumpulan panel surya di seluruh area tersebut.

Gambaran Padang California dalam film Blade Runner 2049
Padang California di film Blade Runner 2049 | Pinterest (https://id.pinterest.com)

Gambaran suram padang California tersebut sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Peter Laufer, seorang jurnalis independen, pernah melakukan wawancara pada seorang ahli biologi pada proyek industri tenaga surya di Gurun Mojave, California. Ahli biologi tersebut berkata “Translokasi adalah ide yang buruk, semua orang tahu bahwa translokasi tidak berhasil. Ketika Anda berjalan di depan buldoser, menangis, dan memindahkan hewan dan kaktus, sulit untuk berpikir bahwa proyek itu adalah ide yang bagus.” Proyek ini sendiri juga telah  menghancurkan habitat rapuh kura-kura dengan membunuh rumput dan kaktus yang dimakannya.

Proyek energi terbarukan memang sedang menjadi fokus dunia sekarang ini. Namun, proses pengembangan energi terbarukan sendiri bukanlah suatu hal yang secara instan linear dengan kepentingan seluruh pihak. Banyak terjadi dilema di berbagai bidang yang berkaitan dengan energi terbarukan, mulai dari ekonomi, politik, hingga lingkungan. Dalam hal lingkungan, kita menghadapi dilema akut dalam upaya pengadaan lahan. Salah satu penyebab kebutuhan lahan ini terjadi karena sumber energi terbarukan paling difavoritkan oleh dunia adalah tenaga surya, angin, dan air. Padahal masih ada sumber energi bersih yang cukup efisien dalam pengadaan lahan dan mampu memproduksi energi dalam jumlah besar secara konsisten, meskipun dirasa cukup kontroversial, yaitu nuklir.

Jumlah Lahan yang Diperlukan
Jumlah Lahan Untuk Setiap Pembangkit Energi | NEI (https://www.nei.org)

Kata “nuklir” cenderung dipahami dengan konotasi negatif di antara banyak teknologi yang ditemukan pada abad 20. Bom, perang, dan kemusnahan menjadi kata-kata yang sering digunakan kebanyakan masyarakat untuk mendeskripsikan teknologi nuklir. Namun, ketakutan akan nuklir ini termasuk wajar jika melihat histori masa lalu nuklir yang dispesialisasi sebagai senjata pemusnah. Sejarah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menjadi bahan ajar kita semua dari kecil sehingga kita tidak mengetahui seluruh fakta nuklir di dunia. Dilansir dari Our World In Data, nuklir setidaknya telah menyelamatkan sekitar 2 juta jiwa di seluruh dunia. Kenyataan ini memang aneh untuk diterima karena kita tidak terbiasa mendapatkan berita dari media tentang bagaimana nuklir bisa menyelamatkan manusia, tetapi itulah kenyataannya. Dalam penelitian Pushker A. Kharecha and James E. Hansen, nuklir dijelaskan telah berjasa mencegah 64 giga ton emisi CO2. Selain CO2, zat beracun lain, seperti merkuri, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan zat metal berat yang berasal dari sumber energi kotor turut dapat dikurangi karena telah diantisipasi oleh nuklir.

Kebutuhan energi sebagai kebutuhan primer mewajibkan manusia untuk menyediakannya secara terus-menerus. Masalah terjadi karena hingga saat ini sumber energi manusia sekitar 85%-nya berasal dari sumber daya kotor, yaitu batu bara, minyak, dan gas. Ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil ini telah terjadi lebih dari 150 tahun. Selama masa itu juga, banyak polusi yang dihasilkan semakin memenuhi atmosfer dan berujung pada krisis iklim. Dunia internasional pun kini fokus untuk mereduksi emisi gas tidak naik melebihi 2 C dan sekeras mungkin membatasinya menjadi 1,5 C.

Menurut Dan Kwatrler, kita bisa saja menutup seluruh Gurun Sahara dengan panel surya untuk mendapat energi sejumlah 22 juta terawatt per jam setiap tahun atau setara lebih dari 100 kali dari yang dibutuhkan oleh seluruh manusia. Meskipun jumlah energi yang didapat sangat besar, tetapi langkah ini tidak efisien dalam pendistribusian energinya. Energi terbarukan sebenarnya memiliki hambatan mutlak dari segi geologis sehingga tidak semua negara bisa bebas menggunakan seluruh sumber energi terbarukan. Belum juga perhitungan jumlah dampak kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi di Gurun Majove. Tidak seperti energi kotor, fleksibitas distribusi dan transportasi energi terbarukan masih mengandalkan listrik.

Efisiensi lahan oleh teknologi nuklir juga diimbangi dengan jumlah pasokan energi yang lebih besar dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya. Dilansir dari Nuclear Energy Institute, ladang angin membutuhkan hingga 360 kali lebih banyak lahan untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama dengan fasilitas energi nuklir. Adapun asilitas fotovoltaik surya (PV) membutuhkan hingga 75 kali luas lahan untuk nuklir. Selain efisiensi lahan, nuklir juga tergolong efisien dalam hal bahan baku. Di antara energi bersih, nuklir hanya membutuhkan material sejumlah 920 ton/TWh, lebih sedikit dari geotermal (5.261 ton/Twh), angin (10.260 ton/KWh), air (14.067 ton/KWh), dan panel surya (16.447 ton/KWh). Efisiensi bahan baku akan memiliki dampak positif jangka panjang, di mana limbah dari fasilitas yang kedarluwarsa dan mesti dipensiunkan tidak terlalu banyak sehingga biaya bisa ditekan.

Jumlah Material Untuk Setiap Pembangkit Enegi
Jumlah Penggunaan Material | Environmental Progress (https://environmentalprogress.org)

Manfaat dari nuklir sendiri sudah dirasakan di beberapa negara Eropa, salah satunya Prancis. Harga listrik Prancis hanya 0,193 Dollar per kWh, dibandingkan dengan harga listrik Jerman yang sebesar 0,330 Dolar per kWh. Hal ini terjadi karena Prancis dapat memanfaatkan energi bersih, terutama nuklir dan hidro, hingga 93%, dibandingkan dengan Jerman yang hanya 46%. Intensitas karbon dari dari nuklir sendiri bisa dikatakan salah satu yang terendah di antara sumber energi lainnya. Dilansir dari penelitian Jacques A. de Chalendar dan Sally M. Benson, intensitas karbon nuklir adalah yang terendah ketiga, setelah tenaga air dan angin, dengan 16 kgCO2-eq/MWhe. Tentunya jika intensitas karbon semakin ditekan maka perubahan atmosfer bisa diminimalisir.

Pengaplikasian nuklir sebagai teknologi energi hijau tentunya tidak mudah. Selain diperlukan sumber daya manusia yang kompeten dan handal, masih ada kelompok anti-nuklir yang mengampanyekan citra negatif dari nuklir. Sejarah kelam nuklir sebagai senjata pemusnah massal memang tidak bisa berubah, tetapi bukankah kita mesti belajar dari masa lalu untuk masa depan yang lebih baik. Salah satu peristiwa penting terjadi pada tahun 1968 dalam The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), di mana setiap negara harus bersedia mengurangi jumlah senjata nuklir hingga nol secepat mungkin. Meskipun pelaksanaan perjanjian tersebut masih “jauh panggang dari api.” Kita tentu tetap berharap, di mana suatu hari nanti nuklir menjadi barang untuk kemaslahatan manusia.