Menuai Hidup Bahagia dengan Memulai Habits New Normal

Menuai Hidup Bahagia dengan Memulai Habits New Normal

Membiasakan mencoba hal baru dan membarukan kebiasaan

Cintai Kehidupan sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri | Photo by Anton on Unsplash 

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

New Normal. Itulah tranding topik saat ini. Tidak sedikit orang yang  menggunakan  istilah itu dalam kehidupan sehari-hari. Tidak banyak orang yang memahami arti dari kesungguhannya.  Mereka beranggapan bahwa new normal  adalah suatu aktifitas yang dilakukan seperti biasanya tanpa ada kendala pandemi covid dan lain-lain. Pola pikir seperti inilah dapat mempengaruhi orang lain. Bebas berpendapat boleh, tapi membebas-bebaskan pendapat itu yang tidak boleh. Karena pemahaman secara tematik bisa jadi benar dan salah. Maka diperlukan pengetahuan khusus serta tidak emosional dalam hal apapun.

Beberapa pekan lalu, istilah new normal dicetuskan oleh badan kesehatan dan pemerintah untuk  menangkis keluhan masyarakat. Direspond positif namun pada akhirnya malah berlebihan dalam mengaplikasikan. Sehingga dibutuhkan penanganan serius dari pihak yang berwenang. Bahkan celanya, nilai Islam pun mulai tercecer di tengah jalan. Ada yang menaruh ajaran  Islam di pintu ketika hendak keluar rumah, itu masih mending dari pada orang yang menenteng kesana-kemari ajaran Islam namun perilakunya tidak mencerminkan Islam sama sekali, hanya dijadikan sebuah formalitas saja. Tragedi tersebut harus dibuang jauh-jauh dalam diri masyarakat agar tidak semakin mendarah daging. Siapakah yang harus hadir menanggulangi hal tersebut? Para pemuda. Pemudalah yang akan membendung segala keresahan serta keadaan yang bertolak belakang dengan nilai Islam.Seperti yang dikatakan Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si. selaku DPR RI komisi x (Pendidikan-Olahraga-Sejarah), “Generasi muda saat ini ialah generasi yang sedang tumbuh, dalam istilah psikologi disebut on the becoming procces, dalam proses tumbuh.”

 Ulama Mesir mengatakan, “Islam  itu rahmat tapi ditutupi oleh ulah kaum muslimin.” Pernyatan  beliau cukup memberikan pukulan telak terhadap kaum muslim bahwa sanya yang menyebabkan reputasi Islam memburuk bukan dari Islam itu sendiri melainkan dari penganutnya. Hal itu bukan hanya terjadi sekali bahkan berkali-kali. Di manapun dan kapanpun pasti akan menemukan kondisi yang mengganjal. Tentu pembaca akan tahu tentang radikalisme, puritanisme, fundamentalisme, terorisme merupakan buah dari kegagalan memahami Islam yang rahmat. Sejalur dengan apa yang diakatakan M. Quraish shihab, Islam memberikan kemudahan kepada umat dalam beragama. Ketika seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan satu tuntutan maka ia memiliki peluang untuk menghindari kesulitan itu dengan memilih pendapat lain. Hal ini selaras dengan bunyi satu ungkapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW: “Perbedaan pendapat pada ummatku adalah rahmat.” Tentu saja rahmat di sini bila ada perbedaan dipahami dan disikapi dengan benar (Shihab, 2018). Mengacu pada pernyataan tersebut, seyogianya para masyarakat sudah bisa membenah diri dengan mengubah sikap serta pola pikir.

Membiasakan hal baru dan membarukan kebiasaan | @e-spincorp.com

Banyak terminologi lain yang dilabelkan pada Gen Z (Generasi Z). Ada yang menyebut generasi gawai (gadget), ada pula yang menyebut iGen (iGeneration), gen Net (generasi internet), gen Tech dan digital natives, atau terminologi yang biasa di dengar masyarakat Kids Jaman Now. Tutur Bapak Fathurrosyid selaku dosen INSTIKA. Termasuk bagian manakah istilah new normal ini? Penulis masih belum menelusuri. Bisa jadi semuanya, atau salah satunya. Pada perkembangan teknologi ini menghasilkan generasi hiper kognitif yang lebih nyaman mengumpulkan referensi silang dari banyak sumber informasi dan mengintegrasikan pengalaman virtual dengan kehidupan nyata. Mereka belajar tentang agama Islam dari internet. Kondisi  ini membuat tempat belajar bergeser yang dulu belajar agama kepada kiai di pesantren, saat ini mereka lebih banyak berselancar ke pesantren asuhan mbah Google. Tak ayal jika banyak dari mereka cenderung salah mengartikan ajaran Islam yang sebenarnya.

New normal, sebuah kegiatan dinormalkan kembali dalam tanda kutip ada batasan-batasannya. Tetap jaga jarak, tidak berkerumunan di tempat yang ramai, memakai masker dan hal lain yang sekiranya bisa melansir tersebarnya covid-19 ini. Dari itu kemudian orang-orang mulai beraktivitas kembali namun perlu di garis bawahi, mereka tidak lagi menerapkan apa yang telah pemerintah anjurkan. Fatal bukan? Seperti halnya di desa Prenduan kabupaten Sumenep dengan posisi geografis rata-rata masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka acuh tak acuh istilah kasarnya nakal. Hanya melakukan karantina di rumah selama empat belas hari, itupun di awal gencar-gencarnya pandemi covid. Selepas dari itu, aktifitas keseharian tetap dilakukan seperti hari biasa. Selain dari itu mereka juga berbondong-bondong dalam hal kemegahan. Lebih mengedepankan gengsi dari pada toleransi. Padahal Islam sendiri lebih mengedepankan yang namanya tasamuh (toleransi) dan itu sudah ada sejak dulu bukan hasil revisi.

Ketika cap normal resmi dianjurkan, lembaga pendidikan-namun tidak semuanya-, pasar, mall, wisata sudah mulai bisa dibuka kembali dengan catatan ikuti protokol. Tak semudah yang pemerintah  kira. Coba renungkan, ketika hal yang sudah menjadi kebiasaan disegel, kemudian diperbolehkan lagi beraktifitas maka tak lagi mengambil anjuran itu. Semua di anggap aman dan biasa-biasa saja. Begitu parah dan melencengnya dari keadaan yang sebenarnya. Seperti keadaan di desa Prenduan ini yang selalu mementingkan diri-sendiri dari pada orang lain. Ajaran Islam seperti apakah yang mereka anut? Jangan salahkan Islamnya, tapi tanyakan pada diri-sendiri dengan lantang, apa yang bisa saya berikan terhadap Islam? Sebuah pertanyaan yang tak lagi dimiliki oleh kaum egoisme namun hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai akal bijaksana. Pemudalah yang berdiri. Kekuatan terbesar yang ada pada bangsa Indonesia terletak pada jiwa pemuda. Pemudalah yang akan mengubah semuanya. Pemudalah yang akan merubah keterpurukan bangsa menjadi lebih baik dengan semangat kebangsaan dan keislaman yang dibawa. Memberikan berupa ilmu terkait Islam yang sebenarnya bukan Islam yang katanya.  

Mengaplikasikan dan memulihkan kebiasaan baru | @kledo.com

Secara integratif-interkonektif, tulisan ini akan mengajak pada pembaca untuk berpikir serta menelaah secara mendalam apa itu Islam dan bagaimana menerapkannya. Persis dengan apa yang dikatakan oleh Ir. Soekarno, “kita tidak mengikuti Muhammad nya atau Nabi nya, tapi konsepsi atau ajaran yang telah ia bawa untuk umat muslim itu yang harus kita ikuti.” Menyadari hal demikian, pemuda hadir yang akan menggiring masyarakat menuju ranah berperadaban. Sekali lagi penulis tegaskan, jangan tanyakan apa yang telah Islam berikan pada kita, justru sebaliknya apa yang dapat kita berikan pada Islam sebagai bentuk pengabdian diri.