Manifestasi “The Birth of Tragedy” Nietzsche dalam Memaknai Hidup untuk Pulihkan Masa Depan

Manifestasi “The Birth of Tragedy” Nietzsche dalam Memaknai Hidup untuk Pulihkan Masa Depan

Buku The Birth of Tragedy

SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Friedrich Wilhelm Nietzsche seorang filologi yang terkenal dengan gagasannya mengenai teori Nihilisme yang lahir karena keresahannya atas problematika eksistensialisme manusia. Gagasan nihilisme menggambarkan pemahanannya atas dunia sebagai realitas yang bisa dijalani tanpa memperdebatkan baik dan buruk perilaku yang tercipta dari konstruksi sosial itu sendiri. Nihilisme Nietzsche memperlihatkan bahwa manusia telah ketergantungan kepada apapun dan siapapun itu, yang membuatnya harus terpaku pada nilai moralitas baik dan buruk. Gagasan ini ia ciptakan agar manusia terlepas dari intervensi tersebut. Sejatinya manusia adalah kebebasan itu sendiri. Sapere Aude, beranilah berpikir sendiri.

Friedrich Wilhelm Nietzsche | Unsplash (umleme.com)

Memaknai diri versi Nietzsche pada karya pertamanya “The Birth of Tragedy” menjadi tolak ukur eksistensi diri pada manusia. Dikatakan bahwa manusia bisa merasakan makna diri ketika mengalami tragedi dalam hidupnya.

Pernahkah kalian, siapapun, mengalami konflik hidup yang membuat kalian merenungkan rentetan kejadian tersebut terhadap eksistensi diri? Karena itulah yang coba diraih dalam The Birth of Tragedy Nietzsche. 

Seperti halnya rentetan tragedi yang kita semua alami 2 tahun terakhir, kehidupan normal yang dengan lancangnya tiba-tiba direnggut. Membuat kita harus cepat beradaptasi dengan kebiasaan baru yang lucunya justru menjadi kebiasaan normal monoton yang baru akhir-akhir ini. Berdamai dengan keadaan, begitu kata semua orang yang lelah dengan situasi pelik yang terjadi.

The Birth of Tragedy - Nietzsche | (YouTube.com)

Hal ini mengingatkan saya pada raja Sisyphus yang dihukum Zeus karena kekejamannya dan juga atas pembocoran rahasia dewa Zeus. Ia dihukum dengan hukuman paling kejam, yaitu mendorong batu besar ke atas gunung secara berulang. Sisyphus menghabiskan sisa hidupnya dengan mendorong batu tanpa henti. Tragedi yang dapat merepresentasikan kehidupan monoton kita. 

Bagai sudah diatur, kita menjalani hari-hari yang tanpa sadar berulang hanya saja yang membedakan mungkin adalah harapan di setiap hari tersebut. Namun langkahnya tetap terulang. Kembali pada hakikat pemaknaan, apakah kehidupan monoton ini merupakan sebuah kutukan yang harus dihentikan? Untuk mendapatkan jawabannya, dosen saya menganalogikannya dengan mitologi Sisyphus tentang bagaimana ia menjalani hukuman tersebut. Ada saat ketika dia berhasil mendorong batu itu ke puncak, dirinya dikerubungi perasaan lega, namun ketika batu tersebut kembali menggelinding, ia harus menelan keletihan dan emosinya untuk mendorong batu tersebut kembali ke puncak. Lama kelamaan Sisyphus menikmati hukumannya tersebut sehingga ia dapat menjalaninya dengan perasaan ringan. Sebenarnya itu adalah sebuah fase di mana dirinya merasa sia sia atas usahanya. Maka dari itu, kesiasiaan itu ia terima sebagai takdirnya untuk membuatnya percaya bahwa hal sia-sia tersebut bisa menjadi ladang kebahagiaanya. 

Sisyphus The Myth-Albert Camus | Unsplash (greecehighdefinition.com)

Sulit diakali? Intinya, kehidupan monoton yang membosankan ini jika dijalani dengan perasaan syukur dan kelapangan hati bisa begitu menyenangkan. Kita tidak tahu apa yang akan kita jumpai selama menjalani kehidupan monoton ini. Karena itulah, menjalaninya dengan lapang hati akan jauh lebih mudah.

Pandemi ini mungkin menjadi sebuah rem kehidupan, sebuah fase rehat untuk membuat manusia merenungkan hidupnya. Pendapat ini tentunya bisa sangat subjektif, namun poin dalam tulisan ini penulis tujukan kepada siapapun yang membacanya sebagai sokongan moralitas agar tetap waras dari tragedi yang kita alami. 

Keterpurukan ini juga dialami sebagian besar masyarakat. Fase lelah dan pasrah pasti terjadi, karena penulis sendiri sebagai pelajar pernah mengalami fase tersebut di tengah peliknya keadaan dan juga tekanan ujian masuk universitas. Memang tidak mudah, tapi hidup harus tetap berlanjut. Sampai saat ini, penulis, pelajar, remaja, dewasa, orang tua, dan semua lapisan masyarakat, adalah usaha terbaik yang bisa kalian lakukan untuk tetap bertahan. Tak lain adalah menunaikan hasrat hidup untuk hari esok yang lebih baik, seandainya tujuan hidup itu merupakan manifestasi atas ide-ide bertahan hidup. 

Memang betul, tidak ada cerita aksi heroik yang penulis cantumkan untuk membakar semangat pembaca sebagai upaya dorongan bangkit dari keterpurukan, karena memang tidak penulis alami. Tapi, toh, terkadang aksi heroik itu tidak harus yang menggelegar seperti halnya sambaran petir, cukuplah sugesti diri untuk terus berjuang hidup saja sudah penulis anggap sebagai aksi heroik.

Mari pulih bersama untuk menyongsong hari esok!