Kesehatan Mental Berkelanjutan Dengan Resiliensi Keluarga

Kesehatan Mental Berkelanjutan Dengan Resiliensi Keluarga

Bermain bersama dengan ayah

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Pandemi Covid-19 menjadi pengalaman tak terlupakan oleh hampir seluruh manusia. Semua memakai masker wajah, hand sanitizer dan menjaga jarak untuk mengurangi angka penyebaran virus dengan nama lain SARS-CoV-2. Masyarakat sibuk bertahan hidup dan menunggu kebijakan demi kebijakan dari pemerintah. Namun realitanya pemerintah tidak mudah untuk mengambil solusi di tengah penyebaran virus yang begitu aktif. Pemerintah juga merasakan goncangan terhadap perubahan tatanan hidup mulai dari sektor ekonomi, pariwisata dan pendidikan. Hampir dua tahun pelajar dan mahasiswa harus belajar di rumah dengan berbagai permasalahan seperti jaringan internet tidak stabil, materi pelajaran sulit dipahami dan tugas sekolah yang makin menggila jumlahnya.

Beberapa orang memakai masker wajah | Pexels.com (Kate Trifo)

Hal ini mengingatkan kasus bunuh diri seorang siswa berinisial AN di wilayah Tarakan, Kalimantan Utara. AN merasa kewalahan mengerjakan tugas sekolah karena materi yang disampaikan sulit dipahami. Orang tua AN tidak punya kapasitas untuk mengajar dan AN harus menyelesaikan banyak tugas sekolah dalam waktu singkat. Akibat tekanan tersebut AN nekat untuk mengakhiri hidupnya.

Berita ini menjadi pengingat hebat bagi kita akan pucuk gunung es dari masalah kesehatan mental. Pandemi Covid-19 membawa krisis baik secara individu, keluarga maupun global. Orang-orang bertahan hidup dengan berbagai keterbatasan. Peraturan isolasi mandiri di rumah membuat mereka sulit terhubung langsung dengan orang lain dan pekerjaan. Hanya bersama keluarga mereka bisa saling menguatkan. 

Kesehatan Mental

Pertolongan kesehatan mental oleh tenaga profesional | Pexels.com (Cottonbro)

Pendemi Covid-19 mengajarkan banyak hal mulai dari menjaga kebersihan, adaptasi lingkungan dan tentunya prioritas kesehatan mental. Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan mental adalah keadaan sejahtera yang dicapai oleh seseorang, termasuk kemampuan untuk mengelola tekanan hidup, dapat bekerja secara produktif dan menghasilkan sesuatu serta berpartisipasi dalam komunitas atau masyarakat. Pandemi Covid-19 mengajak kita untuk lebih memperhatikan keadaan emosi dan ketahanan diri.

Berkaca dari kasus bunuh diri AN, kita dapat melihat bahwa bimbingan konseling di sekolah belum berfungsi sepenuhnya. Begitu juga dengan rendahnya kesadaran untuk minta bantuan ke tenaga profesional jiwa seperti psikolog dan psikiater. Musibah datang kapan saja dan banyak hal di luar kendali kita sebagai manusia. Namun dengan bekal akal dan ilmu pengetahuan kita dapat lebih bersiaga terhadap ketidakpastian. Salah satunya dengan resiliensi keluarga agar siap dan berani dalam menghadapi krisis di masa mendatang. 

Resiliensi Keluarga

Kebersamaan keluarga | Pexels.com (Vlada Karpovich)

Stressor menunjukan kehadiran manusia. Tanpa ada stressor manusia tidak akan berjuang untuk hidup. Resiliensi keluarga adalah kemampuan keluarga untuk mendukung anggota satu sama lain, mengajak berdinamika, menjaga hubungan timbal balik dalam menghadapi konflik dan memaksimalkan kekuatan keluarga agar dapat berfungsi baik sebelum, sedang dan sesudah mengalami krisis kehidupan. Namun kembali lagi ke sikap kita sendiri sebagai anggota keluarga. Apakah bersikap egois atau mau hidup berdampingan?

Perlu kesadaran setiap anggota keluarga untuk menumbuhkan sikap peduli dan interaksi bermakna. Terutama orang tua yang sudah seharusnya mau mendengarkan ide dan saran dari anak agar keluarga dapat berkolaborasi dalam menghadapi permasalahan. Dalam membangun resiliensi kita dapat mengawali dengan mengubah pandangan terhadap keluarga menjadi berorientasi resiliensi. Pandangan tersebut merujuk pada fokus dan tujuan yaitu dapat menggunakan dan memaksimalkan sumber daya keluarga. Kemudian juga lebih berfokus pada kekuatan keluarga daripada permasalahan.

Upaya Dalam Meningkatkan Resiliensi Keluarga

Setelah mendapat pandangan keluarga berorientasi resiliensi maka langkah selanjutnya adalah melakukan upaya untuk meningkatkan resiliensi keluarga. Adapun caranya sebagai berikut: 

1. Emosi positif

Emosi positif berperan penting karena dapat meringankan beban emosional. Kita dapat memberi rasa kasih sayang, humor, optimisme, solusi positif serta sugesti yang menguatkan kepada anggota keluarga lain.

2. Keterikatan

Keterikatan anggota keluarga perlu ditingkatkan agar dapat mencari jalan keluar dari permasalahan. Koordinasi yang baik dan saling menarik dari keterpurukan satu sama lain dapat memberi dampak besar bagi pemulihan konflik keluarga. Dalam mewujudkan keterikatan diperlukan komunikasi yang harmonis agar dapat mengembangkan strategi, menimbulkan makna dan menciptakan kesepakatan dalam mengambil keputusan bersama. Komunikasi yang baik dapat dilihat dari kejelasan pesan, ekspresi emosional yang terbuka dan keterlibatan semua anggota.

3. Manejemen keuangan

Pengambilan keputusan yang baik dalam manajemen keuangan dapat meningkatkan kesejahteraan. Pengeluaran dan pemasukan harus dirancang sedemikian rupa untuk menjaga keuangan keluarga tetap stabil.

4. Kebersamaan

Kebersamaan keluarga dapat dilakukan dengan menyisihkan waktu makan dan santai bersama, berkunjung ke tempat rekreasi atau menonton film. Kebiasaan ini akan menghasilkan kelekatan, rasa berharga, kebahagiaan, humor dan pola asuh yang baik bagi anak.

5. Dukungan sosial

Keluarga sehat tidak hanya menerima dukungan sosial dari lingkungan sekitar baik keluarga, tetangga atau teman. Namun keluarga sehat juga memberi dukungan balik kepada mereka. Hubungan timbal balik ini perlu dijaga agar dapat menciptakan lingkungan sosial yang sehat pula.

Saling membantu anggota keluarga | Pexels.com (Matthias Zomer)

Selain upaya diatas terdapat pemahaman lebih sederhana tentang pentingnya kepedulian keluarga. Pemahaman ini berasal dari penelitian Werner dan Smith yang mempelajari 698 bayi di Pulau Kauai, Hawai. Bayi tersebut lahir dengan kondisi stres selama kehamilan, dari keluarga miskin dan juga memiliki masalah kesehatan mental.

Setelah rentang 10 tahun bayi tersebut dinilai atau tepatnya saat remaja. Muncul satu faktor penting bahwa setidaknya ada satu orang dewasa yang banyak membantu anak tersebut. Bangkit dari keterpurukan dan berhasil menghadapi setiap tantangan hidup. Berkat bantuan orang dewasa anak dapat menemukan potensi dan nilai mereka sehingga dapat berfungsi dengan maksimal.

Pada dasarnya resiliensi berawal dari kesadaran diri untuk bertahan hidup yang dibarengi kepedulian terhadap orang lain. Ketika keluarga tidak saling peduli, maka mulailah dari diri sendiri. Kita mengajak dan mengingatkan pentingnya kepedulian dan tunjukkan bagaimana hubungan timbal balik itu penting saat kondisi krisis. Resiliensi keluarga membantu kita meringankan beban masalah, mendapatkan dukungan sosial dan tentunya menjaga kesehatan mental berkelanjutan.