Kebudayaan dan Kontinuitas Hidup Menuju Kearifan yang Tepat

Kebudayaan dan Kontinuitas Hidup Menuju Kearifan yang Tepat

Budaya dalam keberagaman

KEBUDAYAAN DAN KONTINUITAS HIDUP MENUJU KEARIFAN YANG TEPAT

SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Budaya dalam keberagaman | Unsplash (@claybanks)

Pandemi Covid-19 benar-benar telah mengubah sebagian besar pola kehidupan manusia. Begitu juga yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya. Akan tetapi, kita tidak bisa selamanya hidup dalam kondisi terpuruk seperti itu, karena sebagai sebuah bangsa masyarakat harus bangkit untuk menjalani kehidupan di masa depan, walaupun dengan pola dan mekanisme hidup yang lebih “baru” karena semuanya mengalami pergeseran dan guncangan. Bisa dikatakan, tahun 2022 menjadi titik balik pemulihan yang digadang-gadang akan menjadi awal mula kebangkitan bangsa Indonesia, setelah dua tahun dihantam oleh pandemi.

Bertepatan dengan masa pemulihan pascapandemi, dalam perhelatan G20, Indonesia dalam bidang pendidikan mengangkat sebuah tema tentang “Kebudayaan untuk Hidup yang Berkelanjutan”. Kita melihat komitmen Indonesia dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam hal ini, Hilmar Farid, selaku Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, sebagaimana dikutip dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (2022), mengungkapkan, “Pandemi telah mengungkapkan kerentanan laten dalam gaya hidup modern kita. Kita tidak lagi berbicara tentang kemiskinan, ketidaksetaraan, ketidakadilan, tetapi tentang kelangsungan hidup manusia sebagai spesies. Untuk pulih bersama, dan pulih lebih kuat, kita membutuhkan gaya hidup baru yang lebih berkelanjutan.” Dalam pesannya itu, penulis ingin menunjukan adanya model kebudayaan yang lebih tepat dalam menghadapi situasi pascapandemi dan kemungkinan yang akan terjadi berikutnya, dengan poin utama adalah berkelanjutan.

Gaya hidup baru dan kontinu menjadi tema besar dalam kebudayaan bangsa ini pascapandemi. Pertama, dalam mewujudkannya kita bisa dimulai dengan peran budaya itu sendiri. Bagaimanapun, setiap bangsa dan peradaban di dunia memiliki kebudayaan yang tumbuh dan berkembang, dan akan senantiasa mengalami penyesuaian dengan laju zaman. Kita katakan, bahwa peradaban manusia hari ini telah melewati era modern, bahkan penulis akan menyebutnya dengan era informasi. Lalu, bagaimana kebudayaan dan kearifan lokal itu bertemu dengan kebudayaan asing dan bagaimana itu bisa meramu untuk kemudian menjawab hal-hal potensial di masa depan? Maka, budaya harus tetap dalam ranah dinamis, bukan statis. Termasuk, kebudayaan harus terbuka dan memungkinkan terjadinya perubahan hidup yang lebih baik. Artinya, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang mampu membawa manusia ke taraf kearifan dan kebijaksanaan yang tinggi, mendorong manusia untuk semakin menjadi “manusia”, sehingga mampu menjawab setiap tantangan zaman. Dengan begitu, kehidupan manusia bisa berlanjut dan semakin lebih maju. Kebudayaan bukan sekadar produk, tapi ia juga pola, proses, dan budhi (akal). Sehingga, bagi masyarakat Indonesia, kita harus mulai mendefinisikan ulang konsep budaya dan bagaimana ia dapat menjadi sebuah identitas hidup.

Kesadaran individu dalam kemasyarakatan | Unsplash (@tengyart)

Kedua, pendefinisian ulang mengenai konsep budaya bukan menjadi titik pemberhentian semata, tapi awal dalam perjalanan individu dan masyarakat hingga negara. Misalnya, dalam hal kebijakan, tentunya analisis kebijakan publik yang dihasilkan harus mampu memberikan dampak semaksimal mungkin yang terbaik dan paling bijaksana sebelum akhirnya diterapkan. Bagaimana kebijakan itu dapat berjalan di antara individu, masyarakat, kelompok, dan negara. Sebagai contoh, kebijakan industrialisasi di suatu kawasan. Sebagai pemangku kebijakan, tentunya analisis paling utama sebelum melanjutkan proyek tersebut adalah filosofisnya dan lingkungan, diikuti analisis sosial, ekonomi, dan politik. Tentunya, hal itu tidak sebatas pada saat hendak menurunkan kebijakan, namun juga harus diikuti dengan progres lanjutan, yang apakah akan memberikan dampak percepatan yang baik, atau justru hanya baik di awal namun berdampak buruk berkelanjutan. Ini juga termasuk ke dalam budaya untuk hidup berkelanjutan, di mana pengambilan kebijakan adalah sebuah budaya penting yang memadukan berbagai potensi dan pengetahuan, tidak tendensius, dan penuh dengan kalkulasi berkelanjutan serta ilmiah dalam mewujudkan kesejahteraan. Bila budaya kebijaksanaan kenegaraan direnggut oleh pragmatikal politis, maka sudah dipastikan kebijakan yang dihasilkan akan menimbulkan konflik. Rasa emosional kita harus berlabuh di tempat yang tepat, dan memposisikan akal sehat dalam bertindak.

Musyawarah dalam pengambilan kebijakan | Unsplash (@marcooriolesi)

Ketiga, tentunya, kebudayaan tidak bersifat regulatif atau regelling, atau sekhas konstitusi, budaya hidup di masyarakat dan dipertahankan secara kolektif dalam ingatan publik dan pola-pola kemasyarakatan. Dengan demikian, budaya baik pun sejatinya mesti dipertahankan secara cultural commoning, yaitu pengelolaan atas sumber daya budaya, yang mana semua orang bertanggung jawab dalam melestarikan, mengembangkan, dan mempertahankan nilai-nilai penting kebudayaan secara bertanggung jawab. Ingat, budaya bukan sekadar produk, tapi juga moralitas publik, dan nilai-nilai yang mencirikan eksistensi manusia sebagai makhluk “berkesadaran”. Misalnya, bagaimana kita menghormati alam dengan cara mengurangi konsumsi kayu, penghormatan atas air sebagai sumber penting kehidupan, kebersihan, tidak standar ganda dan bertindak fair, budaya rasionalitas dan bijaksana dalam pengambilan keputusan dan bertindak, dll. Itu semua budaya-budaya penting yang mesti dipertahankan dan dikelola masyarakat, tanpa kecuali dan konsisten. Salah satu yang menjadi permasalahan masyarakat hari ini adalah tindakan standar ganda (hipokrit) atau munafik, bahkan sudah menjadi rahasia umum jika kita berkunjung ke platform Twitter dan Instagram ketika dihadapkan dalam situasi, misalnya perang Ukraina-Rusia. Hal lain misalnya literasi, yang bukan sekadar membaca tapi juga memahami maksudnya, yang sayangnya justru kebanyakan masyarakat Indonesia terjebak dalam euforia ingin cepat menyimpulkan, bahkan tanpa data sekalipun. Dengan demikian, cultural commoning memungkinkan nilai-nilai penting kebudayaan dapat dipertahankan dan bermanfaat bagi kelanjutan hidup masyarakat.

Terakhir adalah pembenahan kultural dan struktural. Beberapa telah disinggung di atas mengenai persoalan kebudayaan. Satu hal lagi, yaitu kultural dan struktural. Seyakin apa kehidupan masyarakat kita baik-baik saja? Apakah kondisi pascapandemi ini benar-benar membuat kita berubah dan jauh lebih baik? Misalnya, apakah budaya literasi kita membaik atau budaya etika dalam bermedia sosial kita sudah mumpuni dan bijak. Ingat, bagaimana Microsoft akhirnya diserang warga net Indonesia yang tidak terima karena disebut dengan warga net paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Dengan demikian, pembenahan besar-besaran secara kultural mesti dibenahi, karena hal ini cukup sulit dan memakan waktu. Misalnya, budaya ngaret atau fleksibel yang keterlaluan sudah mengakar, sehingga harus dibenahi. Termasuk, budaya korupsi, mulai dari pejabat tinggi hingga lokal. Hal ini akan membawa kita kembali ke poin empat, di mana masyarakat da negara turut andil dalam membangun dan mempertahankan budaya, termasuk memaknai kembali budaya secara terbuka. Perlahan, namun pasti, kita bisa menyingkirkan budaya-budaya yang tidak semestinya hadir dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya, walaupun cukup lama, bila perlu dengan regulasi dan penerapan secara komitmen.

Poin-poin di atas hanyalah sebagian gambaran, bagaimana kebudayaan yang tepat dapat membantu manusia melewati kondisi pascapandemi. Apabila dilakukan secara konsisten dan bertanggung jawab dan tidak dipandang statis, juga dilaksanakan secara konsisten, maka diharapkan masyarakat Indonesia akan lebih berbudaya, sehingga mampu menjawab tantangan kontinu kehidupan. Kita tidak mau kan budaya tidak bermanfaat membebani hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022, April 22). G20 Kebudayaan, Kemendikbudristek Tawarkan Jalan Kebudayaan untuk Hidup yang Berkelanjutan. Dikutip dari www.kemdikbud.go.id: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/04/g20-kebudayaan-kemendikbudristek-tawarkan-jalan-kebudayaan-untuk-hidup-yang-berkelanjutan