Kabar Baik Transformasi Digital : Menuju Pemilu Indonesia Berintegritas dengan Dukungan Teknologi dan Warung Kopi

Kabar Baik Transformasi Digital : Menuju Pemilu Indonesia Berintegritas dengan Dukungan Teknologi dan Warung Kopi

Transformasi digital turut mempengaruhi pemilihan umum| Ilustrasi gambar : pixabay.com / OrnaW

#SohIBBerkompetisiArtikel

Setiap era datang silih berganti hingga kini hampir semua hal tersentuh digitalisasi. Transformasi digital sudah memberi dampak pada segenap aspek kehidupan kita.

Termasuk dampaknya terhadap sistem perpolitikan sebuah bangsa. Tidak terkecuali menyangkut pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di sana.

Kita mungkin masih ingat kegaduhan pemilu presiden (pilpres) tahun 2014, pilkada DKI 2017, dan puncaknya pelaksanaan pilpres 2019 yang lalu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu kontributor penyebab kegaduhan tersebut adalah keberadaan media sosial (medsos).

Transformasi digital membuat publik semakin terbiasa dengan medsos sehingga siapapun bisa bersuara tanpa sekat dan batas.

Tetapi, sayangnya hal itu seringkali kebablasan sehingga memantik gesekan dan konflik.

Ketertiban pelaksanaan pemilu pun dikhawatirkan, dan peredaran berita palsu alias hoaks terlihat sebagai ancaman tak terhindarkan.

Terlebih kita hanya sejengkal langkah lagi menuju pemilu serentak tahun 2024 mendatang.

Transformasi digital turut mempengaruhi pemilihan umum| Ilustrasi gambar : pixabay.com / OrnaW

Musim Hoaks

Simpang siur apalagi berita palsu merupakan masalah besar pada zaman informasi seperti sekarang.

Perilaku mencari keuntungan dan memantik keriuhan oleh para oknum tak bertanggung jawab melalui penyebaran hoaks itu ibarat gulma yang tumbuh di musim tanam.

Saat Covid-19 melanda, ramai sekali berita hoaks tentang pandemi. Begitupun saat menjelang pemilu, hoaks mengenai hajatan demokrasi turut melonjak.

Hoaks terkait pelaksanaan pemilu pada akhirnya mengundang banyak masalah. Diantaranya gangguan keamanan, konflik vertikal maupun horisontal, hingga lahirnya antipati (golput) publik terhadap pemilu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa medsos merupakan sarana penyebaran hoaks terbesar, yang mana menurut survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017 kontribusinya mencapai 92,4%.

Hoaks pemilu tidak terpisahkan dari transformasi digital| Ilustrasi gambar : pixabay.com / memyselfaneye

Literasi Pemilu

Semua negara yang berasaskan demokrasi pasti akan menyelenggarakan pemilu.

Hanya saja, tidak setiap negara mampu menyelenggarakan pemilu yang aman, tertib, serta terbebas dari belenggu kepentingan.

Berdasarkan penilaian dari The Electoral Integrity Project, negara yang menduduki peringkat teratas dalam hal integritas pemilu antara lain Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia.

Negara-negara tersebut memiliki sistem pemilihan yang transparan, partisipasi pemilih tinggi, serta kebebasan politik kuat sehingga patut kita jadikan referensi.

Hanya saja, sebelum melakukan benchmarking  alangkah baiknya untuk mengulik sesuatu yang mendasari kemampuan negara-negara tersebut dalam menyelenggarakan pemilu berintegritas.

Menurut Digital Readiness Index, keempat negara ini termasuk memiliki tingkat literasi digital tertinggi di dunia (20 besar). Norwegia (peringkat 13), Denmark (peringkat 6), Swedia (peringkat 5), Finladia (peringkat 15).

Apalagi, berdasar pengamatan Mastel dan APJII (Asosiasi Penyelenggaran Jasa Internet Indonesia), rendahnya tingkat literasi digital juga menyebabkan tingginya penyebaran hoaks.

Masifnya peredaran hoaks akan memperbesar risiko terjadinya gangguan pemilu. Dengan kata lain, hoaks membuat kualitas pemilu menurun.

Tingkat literasi digital berkorelasi positif dengan kemampuan negara dalam menyelenggarakan pemilu berkualitas.

Sehingga kualitas literasi pemilu di masyarakat sangatlah menentukan kualitas dari pelaksanaan pemilu itu sendiri.

Literasi dalam pemilu sangat penting| Ilustrasi gambar : pixabay.com / stevepb

Kabar Baik Pemilu Indonesia

Indeks literasi digital kita mungkin masih belum mencapai level Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finladia (berdasarkan Digital Readiness Index Indonesia memang baru menempati peringkat 73).

Tapi bagaimanapun, literasi digital masyarakat Indonesia juga terus meningkat. Dan terkait dengan itu, sebenarnya ada kabar baik yang patut kita syukuri, yaitu :

 

#1. Dominasi Pemilih Berkualitas

Pada pemilu 2024 mendatang sekitar 70%[5] pemilih merupakan kelompok milenial dan gen Z. Dari jumlah tersebut, menurut katadata.co.id indeks literasi digital gen Z sudah cukup tinggi yakni mencapai 60% sedangkan milenial 54%.

Ini berarti pemilu 2024 mendatang akan didominasi oleh pemilih berkualitas dengan tingkat literasi digital mumpuni sehingga pemilu berintegritas dapat terealisasi.

 

#2. Perlawanan Terhadap Hoaks Meningkat

Semakin muncul kesadaran untuk membatasi laju peredaran hoaks di masyarakat melalui komunitas anti hoaks.

Misalnya, turnbackhoax.id yang didirikan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dan cekfakta.com yang didirikan oleh kolaborasi tiga lembaga yakni Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Mafindo).

Disamping itu, beberapa media arus utama pun juga menyajikan informasi untuk memeriksa suatu pemberitaan apakah merupakan hoaks atau bukan.

 

#3. Deteksi Hoaks dengan AI

Beberapa penelitian sudah dilakukan oleh para mahasiswa ataupun akademisi Indonesia yang berupaya memberdayakan penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam rangka menyaring berita hoaks.

Salah satunya adalah karya ilmiah yang dibuat oleh Iqbal Pratomo Santoso, mahasiswa Universitas Telkom Bandung, yang membuat penelitian berjudul “Sistem Pendeteksi Berita Hoax pada Situs Web Menggunakan Pendekatan Term Frequency-Inverse Document Frequency dan Support Vector Machine”.

Meski mungkin dampaknya sekarang belum begitu optimal, namun dalam beberapa tahun mendatang upaya itu pasti akan membuahkan hasil.

 

#4. Faktor Warung Kopi

Untuk mengimbangi kualitas literasi digital yang belum menyeluruh di Indonesia, peredaran informasi offline juga perlu diperhatikan.

Berdasarkan penelitian Keller Fay Group sebagaimana disinggung Jonah Berger dalam bukunya, Contagious, getok tular di online sebenarnya hanya memiliki efektifitas sekitar 7% saja.

Dengan kata lain, penyebaran informasi secara offline masih lebih mengena di benak publik.

Dan tahu dimana tempat ngobrol atau nongkrong offline masyarakat yang paling nyaman?

Warkop.

Warkop berpotensi besar menjadi media persebaran informasi di masyarakat. Baik itu warkop tradisonal ataupun modern.

Obrolan di warkop memungkinkan pertukaran pandangan dan informasi. Semakin banyak berita positif (bukan hoaks) beredar maka kecerdasan masyarakat makin meningkat.

Kabar baiknya, warung kopi di Indonesia terus mengalami peningkatan dari periode sebelumnya. Menurut hasil riset TOFFIN, tercatat pada tahun 2016 lalu jumlahnya mencapai 1.083 gerai. Namun pada tahun 2019 jumlahnya sudah menjadi 2.950-an gerai.

Faktor warung kopi akan mempengaruhi kualitas pemilu kita.

Warung kopi jadi kunci transformasi| Ilustrasi gambar : pixabay.com / No_Name_13

Transformasi Mental

Kualitas sumber daya manusia sangat menentukan upaya mewujudkan pemilu yang tertib, aman, dan bebas hoaks.

Tidak peduli apapun medianya, kualitas manusia menentukan segalanya.

Kalau manusianya cerdas dan kritis terhadap informasi maka efeknya akan baik bagi semua.

Bagaimanapun, transformasi digital memang tidak bisa berdiri sendiri atau yang terjadi adalah kegaguan dalam menyikapi zaman serba cepat.

Digitalisasi perlu dibarengi dengan transformasi mental manusianya yang harus siap dan sigap menyambut perubahan teknologi.

Dan itu dimulai dari kebiasaan berfikir kritis. Terbiasa melakukan verifikasi dan validasi informasi untuk memastikan kebenaran suatu informasi

Dengan begitu kita bisa optimis untuk melihat masa depan Indonesia yang lebih baik.

 

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib