Inspirasi Kearifan Lokal ‘Beas Perelek’ Untuk Pulih Bersama dari Pandemi

Inspirasi Kearifan Lokal ‘Beas Perelek’ Untuk Pulih Bersama dari Pandemi

Tradisi "Beas Perelek" di Jawa Barat | merdeka.com

#SobatHebatIndonesiaBaik

#JadiKontributorJadiInspirator

#BerbagiMenginspirasi

#SohIBBerkompetisiArtikel

Kearifan lokal seringkali lahir dari kebijaksanaan nenek moyang atau leluhur dari sebuah entitas suku/etnis di suatu daerah yang mampu bertahan dan dilestarikan sampai sekarang. Kuatnya nilai-nilai yang ditanamkan para leluhur membuat tradisi kearifan lokal tertentu mampu bertahan dalam berbagai era karena relevansinya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak lekang oleh zaman. Setiap tradisi yang berangkat dari kearifan lokal seringkali mengandung filosofi mendalam dalam menjaga keseimbangan antara hubungan manusia dengan alam, hubungan antara manusia dengan manusia, atau hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Tradisi kearifan lokal yang sampai hari ini masih bertahan di Indonesia salah satunya adalah Tradisi Beas Perelek dari Orang Sunda di Jawa Barat. Setelah hampir tiga tahun hidup berdampingan dengan pandemi covid 19 kegiatan Beas Perelek orang Sunda yang dibangun dalam fondasi gotong royong saling membantu sesama warga masyarakat yang kurang beruntung dalam memenuhi kebutuhan rupanya sangat relevan dengan situasi Indonesia dan dunia hari ini untuk pulih Bersama dari pandemi.

Beas Perelek berasal dari dua suku kata yaitu “Beas” dan “Perelek”. Beas dalam bahasa Indonesia berarti beras. Sedangkan Perelek sendiri bukanlah sebuah kata dari sebuah objek/benda. Perelek lebih menggambarkan bunyi ketika beas (beras) dimasukan/dijatuhkan ke dalam wadah biasanya berupa ember atau kaleng oleh warga yang memberi atau berpartisipasi dalam sumbangan.

Biji beras | istockphoto.com (banprik)

Ketika petugas dari Ke-RW-an yang biasanya diwakili ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) berkeliling dari rumah ke rumah untuk menghimpun Beas Perelek, pada saat yang punya rumah menyerahkan berasnya sekepalan tangan atau satu takaran gelas lalu dimasukan ke wadah yang dibawa petugas menimbulkan bunyi “perelek”. Sehingga disebutlah tradisi tersebut dengan istilah Beas Perelek.

Beas Perelek bersifat sukarela dan tidak memaksa. Jumlahnya pun tidak memberatkan karena hanya beras sebanyak genggaman tangan si pemberi sumbangan atau satu gelas. Beras yang terkumpul kemudian dihimpun dan dibagikan kepada warga masyarakat di sekitar yang kurang beruntung secara ekonomi. Biasanya keluarga prasejahtera, anak yatim piatu, atau janda jompo.

Di Desa berdaya Kertajaya, Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis Relawan Inspirasi Rumah Zakat Asep Yana beserta tokoh masyarakat bersepakat untuk menghidupkan kembali budaya “Beas Perelek” | republika.co.id (rumah zakat)

 

Selama pandemi covid 19 tradisi Beas Perelek terbukti ampuh menyelesaikan permasalahan sosial kebutuhan pangan masyarakat yang tidak mampu. Di tengah sulitnya ekonomi masyarakat akibat pandemi dan kebijakan PPKM tradisi Beas Perelek hadir menjadi solusi kebutuhan makanan pokok warga masyarakat Jawa Barat. Dari kegiatan Beas Perelek, saya coba asumsikan satu rumah warga atau kepala keluarga (KK) menyumbangkan satu gelas beras. Apabila 1 kilogram (kg) beras terdiri dari 5 gelas beras, Maka dari 5 KK saja sudah bisa terkumpul 1 kg beras. 

Umumnya dalam 1 Rukun Warga (RW) terdiri dari maksimal 10 Rukun Tetangga (RT) dan dalam 1 RT terdapat maksimal 50 KK. Jadi dalam 1 RW bisa diestimasikan terdapat 500 KK. Jika dari 500 KK kita anggap 70% (350 KK) masuk kategori ekonomi mampu dan berpartisipasi dalam kegiatan Beas Perelek setiap bulan maka dipastikan dalam 1 bulan 1 RW bisa mengumpulkan 70 kg beras per bulan atau 840 kg per tahun. Kemudian dari 70 kg beras yang terkumpul maka 150 KK yang masuk kategori ekonomi tidak mampu bisa mendapatkan bantuan beras sebanyak 2,14 kg per kepala keluarga per bulan.

Konsep Beas Perelek dari tradisi orang Sunda di Jawa Barat menyimpan filosofi dan kedalaman kearifan lokal yang mengajarkan hidup silih bantu jeung silih tulungan kucara udunan (saling bantu dan saling menolong dengan cara urunan/patungan). Hal tersebut tidak bisa lepas dari falsafah hidup orang Sunda yang menganut prinsip Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh.

Silih Asah artinya saling mendukung atau saling melatih kepada sesama. Prinsip ini mengajarkan orang Sunda untuk saling mendukung dalam mengasah kemampuan atau keilmuan satu sama lain. Sifat ini menjadikan watak orang Sunda sebagai orang yang mudah berbagi ilmu dan keterampilan.

Silih Asih artinya saling mengasihi atau saling menolong. Tradisi Beas Perelek dengan sangat jelas tergambar dari falsafah ini. Dalam diri orang Sunda harus ada sifat mengasihi kepada sesama. Saling menolong kepada orang yang membutuhkan pertolongan.

Sedangkan Silih Asuh artinya saling menjaga atau saling melindungi dan mengayomi. Dalam tatanan hidup bermasyarakat antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Konsep silih asuh dalam falsafah hidup orang Sunda mengandung arti mendalam untuk saling memelihara hubungan antar manusia di masyarakat.

Pemilihan kata Silih dalam konsep Silih Asah, Silih Asah, dan Silih Asuh menjadikan setiap warga dalam posisi yang setara (egaliter). Konsep saling mengasihi dan menolong dengan cara udunan (urunan) dalam kegiatan Beas Perelek menjadikan setiap masyarakat bisa memposisikan diri mereka sebagai pemberi atau bisa juga sebagai penerima. Dalam suatu waktu mungkin saja ada warga yang berada di posisi penerima sumbangan beras karena kondisi ekonominya. Tapi dikemudian hari ketika status dan kemampuan ekonominya membaik, warga tersebut bisa menjadi pemberi sumbangan beras dalam praktik Beas Perelek.

Di Desa berdaya Kertajaya, Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis Relawan Inspirasi Rumah Zakat Asep Yana beserta tokoh masyarakat bersepakat untuk menghidupkan kembali budaya “Beas Perelek” | republika.co.id (rumah zakat)

Beas Perelek di Era Digital

Dengan kemasan program kekinian di era teknologi dan digital dalam perkembangannya, praktik Beas Perelek tidak selalu mensyaratkan sumbangan dalam bentuk beras saja. Apabila warga tidak memiliki stok beras di rumahnya, maka warga bisa mengganti beras dengan sejumlah uang yang telah disepakati atau seikhlasnya. Dengan asumsi 1 kg beras sama dengan 5 gelas sumbangan beras maka jika harga 1 kg beras harganya Rp12.000,- (dua belas ribu rupiah) artinya 1 gelas beras bisa dikonversi menjadi uang senilai Rp2.400,- (dua ribu empat ratus rupiah) per KK.

Di era meningkatnya transaksi digital dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, e-money atau e-wallet bisa menjadi alternatif alat pembayaran sumbangan Beas Perelek baik itu OVO, Go Pay, Shopee Pay, Dana, dan lain sebagainya. Semakin banyak metode pembayaran, maka semakin besar juga peluang program Beas Perelek dalam meningkatkan angka partisipasi warga. Dengan adanya fasilitas subtitusi metode pembayaran diharapkan program Beas Perelek bisa tetap berjalan menyesuaikan dengan zaman tanpa kehilangan esensi programnya yaitu pengumpulan bantuan beras untuk masyarakat yang membutuhkan.

Tidak semua orang mampu bertahan dengan gempuran pandemi covid 19 dalam dua tahun terakhir. Banyak kelompok usaha gulung tikar dan orang kehilangan pekerjaan serta kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun bantuan sosial pemerintah sudah berjalan, tapi tetap saja harus ada sebuah gerakan alternatif yang lahir dari kepedulian masyarakat itu sendiri. Sebuah gerakan yang mampu menginspirasi dan mengantisipasi krisis serta turut membantu pemerintah dalam bersinergi menyelesaikan permasalahan sosial untuk pulih bersama dan hidup berkelanjutan*** (HH)