Hari Perdamaian Dunia Tak Pantas Dirayakan Netizen Indonesia

Hari Perdamaian Dunia Tak Pantas Dirayakan Netizen Indonesia

Hari Perdamaian Dunia | Sumber: Unsplash (Jonathan Meyer)

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi

Hari Perdamaian Dunia yang diperingati setiap tanggal 21 September, rasanya tak pantas dirayakan oleh netizen Indonesia. Alih-alih perdamaian, tingkahnya di media sosial justru lebih banyak menyulut pertikaian. Penghinaan, penistaan, dan bullying adalah kejadian biasa yang mewarnai dunia maya cabang Indonesia.

Selain memiliki kemampuan literasi yang rendah, netizen Indonesia ternyata juga merupakan pengguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara berdasarkan laporan Digital Civility Index (IDC) tahun 2020. Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft itu, ditunjukkan terjadi lonjakan nilai pada beberapa faktor, salah satunya ujaran kebencian.

Ujaran kebencian atau hate speech seolah menjadi ikon yang selalu ada begitu kita bermedia sosial. Keberadaannya bahkan dinikmati layaknya hiburan. Tindakan saling lempar kebencian dalam percakapan dunia maya kemudian diabadikan secara khusus dalam akun yang bertajuk “lambe” atau ”julid” yang tidak sedikit pengikutnya. Maka tidak heran jika ujaran kebencian terus menjamur dan membudaya.

Data kejahatan siber yang dilaporkan ke Polri selama pandemi Covid-19
Infografik Kejahatan Siber Selama Pandemi Covid-19 | Sumber: Pers Humas UI 2021

Dilansir dari kumparan.com, melalui siaran pers Humas UI 2021, Bhakti Eko Nugroho, Dosen Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia menyebutkan bahwa kasus hate speech mendominasi kejahatan siber yang dilaporkan ke Polri selama pandemi Covid-19 antara April 2020 dan Juli 2021.

Anonimitas dunia maya memicu penggunanya bebas berperilaku, termasuk dalam memposting, memberikan komentar, hingga mengirimkan pesan tanpa bisa diketahui identitas aslinya. Saat tertangkap, pelaku ujaran kebencian berlindung di balik konteks candaan. Ancaman pidana yang secara tegas disahkan dalam UU ITE, nyatanya tidak cukup menghentikan penyakit sosial ini.

Cita-cita 24 jam tanpa kekerasan dan perdamaian atas segala perbedaan yang menjadi ambisi dalam peringatan Hari Perdamaian Dunia, mustahil tercapai selagi ujaran kebencian masih langgeng sampai sekarang. Tidak ada arti dan gunanya merayakan momentum global ini manakala kita masih menumbuhkan bentuk kejahatan siber ini.

Memang benar ujaran kebencian tidak menyebabkan fisik babak belur. Namun, secara mental akan cukup mengguncang korbannya. Parahnya lagi, ketika perilaku tidak sopan ini dilakukan beramai-ramai untuk menyerang seseorang hanya karena tidak segolongan dengannya. Sebagai bangsa yang pluralis, tentu Indonesia akan sangat rentan.

Ujaran kebencian tidak ada bedanya dengan kekerasan, yakni kekerasan jenis baru yang terjadi tanpa harus berkontak fisik, tetapi efeknya langsung menghantam psikis. Tidak menutup kemungkinan akumulasi ujaran kebencian yang diterima korbannya dapat berujung pada masalah kesehatan mental yang serius.

Ini jelas bertentangan dengan hakikat perdamaian yang mensyaratkan kebebasan dari rasa takut akan kekerasan antara individu maupun kelompok. Hari Perdamaian Dunia, hendaknya juga menjadi kesempatan untuk merefleksikan diri sebagai pengguna internet. Apakah sudah menjadi warganet yang cinta damai, atau malah doyan keributan?

Hari Perdamaian Dunia dapat dijadikan ajang untuk mengakhiri perilaku tidak baik di media sosial untuk menciptakan kedamaian dunia maya.

Mengkhawatirkannya masalah ini, tidak lantas membuat kita pesimistis. Masih ada harapan bagi Indonesia untuk melawan ujaran kebencian melalui cara-cara berikut:

1. Perkuat Etika Bermedia Sosial

Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak-anak kelahiran abad 20 atau yang dikenal Gen Z tumbuh bersama teknologi modern. Gadget dan semua jenis perangkat digital menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Akan tetapi, sebelum itu semua diberikan mestinya mereka dibekali dengan pendidikan etika agar kelak dapat menjadi netizen yang bijak, yaitu yang paham akan hak dan kebebasan sehingga mengurangi potensi kejahatan siber.

2. Mengatur Media Sosial

Media sosial dapat diarahkan pada hal yang positif dengan mengolah pengaturannya. Pengguna dapat memanfaatkan fitur yang ada, seperti mem-private akun, membatasi kolom komentar, sampai memblokir isu-isu yang negatif. Saat ini, telah banyak perusahaan digital mengembangkan fitur ramah anak dalam produknya. Orang tua dapat memanfaatkannya sehingga sang anak dapat menjelajah internet dengan aman.

3. Optimalisasi UU ITE

UU ITE menjadi instrumen penting yang dapat menertibkan perilaku masyarakat di dunia maya. Selain itu, implementasinya saat ini juga didukung dengan diluncurkannya polisi virtual. Untuk mendorong optimalisasinya, diperlukan sistem pelaporan yang cepat tanggap. Sama seperti peraturan perundang-undangan lain, harapannya UU ITE dapat bertindak adil dan tegas. Berbagai masukan terhadapnya juga bisa dipertimbangkan agar tercipta peraturan yang tidak multitafsir.

Selain tiga cara di atas, alangkah lebih baik dan efektif jika perubahan dimulai dari diri kita sendiri. Banyak tips untuk menjadi netizen yang cerdas nan bijak, di antaranya adalah dengan melek informasi hoax, tidak mudah terprovokasi dan mengumbar kehidupan pribadi, serta selalu menyebarkan hal-hal yang positif.

Hoax adalah borok dalam media sosial. Kehadirannya selalu menimbulkan perpecahan. Sebisa mungkin kita harus menghindarinya dengan tidak akan mudah  menerima informasi yang diragukan kredibilitasnya. Selanjutnya, menahan diri dan memikirkan kembali atau rethinking sebelum menanggapi segala sesuatu perlu kita biasakan.

Selain itu, perlu kita pahami tidak semua hal dapat diumbar di medsos. Kesemuan dunia maya tidak serta merta membuat kita menghilangkan privasi. Terakhir, untuk mendapatkan sisi positif bermedia sosial sangat tergantung dari bagaimana kita menggunakannya.

Yang jelas, perdamaian dunia maya hanya akan tercipta ketika diisi oleh orang-orang yang cerdas dan bijak. Jangan ada perayaan Hari Perdamaian Dunia sampai ujaran kebencian berhasil ditinggalkan. Pertanyaannya, kapan kita akan mulai berbenah?