Gotong-royong, Pandemi, dan Eksperimen Marshmallow

Gotong-royong, Pandemi, dan Eksperimen Marshmallow

Gotong-royong Bermakna | Sumber: Dokumentasi Pribadi

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi

Gotong-royong adalah karakter terindah yang dimiliki oleh bangsa ini. Lini sejarah telah mencatat bahwa Indonesia mampu bangkit dari segala macam keterpurukannya dengan saling bergotong-royong. Namun, tak bisa dipungkiri, negeri ini pun terperosok dalam krisis multidimensi oleh oknum-oknum yang membawa karakter tersebut ke jalan yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Tulisan ini akan membabarkannya.

Karakter gotong-royong sebagai salah satu pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara ini disampaikan secara resmi oleh Presiden Sukarno dalam pidatonya di sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan), 29 Mei-1 Juni 1945. Berikut cuplikan pidatonya,

“... Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadi koesoema buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! – semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong. “Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe! Gotong-royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holupis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong” (Kusuma, 2004).

Sangat jelas bahwa keinginan Presiden Sukarno adalah bergotong-royong untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan sebagian orang/ kelompok/ golongan, apalagi segelintir warga negara.

Setelah era Presiden Sukarno, karakter ini pun terus dilekatkan pada semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara hingga sekarang. Salah satunya pada dunia pendidikan di negeri ini, Presiden Joko Widodo dalam nawa citanya menurunkan lima nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila, yang menjadi prioritas pengembangan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK); yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotong-royongan.

Dalam PPK, makna nilai karakter gotong-royong adalah mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu-membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Secara teoritis, kelima nilai karakter PPK ini tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Tentu, pada sisi kehidupan yang lainnya pun mengejawantahkan hal yang sama seperti dalam bidang pendidikan ini.

Beberapa ahli menyatakan bahwa budaya gotong-royong telah melekat pada nilai-nilai substansi modal sosial. Itu artinya bila masyarakat masih memegang teguh prinsip gotong-royong sebagai modal sosial maka lebih mudah dalam mencapai kemajuan bersama. Sebaliknya, bila nilai-nilai gotong-royong yang terkandung dalam modal sosial tidak lagi menjadi pegangan dan rujukan dalam masyarakat dan komunitas bisa jadi akan mengalami kesulitan karena energi sosial bisa terbuang sia-sia dan berpotensi menghalangi mencapai tujuan kemajuan bersama. Bahkan bisa memicu munculnya kekacauan sosial (Effendi, 2013).

Oleh karenanya, di awal paragraf, penulis telah menyatakan bahwa secara empiris, negeri ini pernah bangkit, bebas, dan merdeka dari penjajahan yang berlangsung lebih dari 350 tahun. Sebaliknya, setelah momen kemerdekaan pun pernah terperosok ke krisis multidimensi sehingga melahirkan era reformasi di tahun 1998.

Gotong-royong, Pandemi, dan Ironinya

Karakter gotong-royong dengan pandemi yang sekarang melanda tidak bisa dipisahkan sejengkal pun. Bahkan program vaksinasi yang sekarang menjadi andalan, diberi nama program Vaksinasi Gotong Royong (VGR). VGR merupakan upaya dunia usaha membantu pemerintah dalam percepatan vaksinasi para pegawai perusahaan atau karyawan atau buruh pabrik dan masyarakat sekitarnya untuk segera mencapai herd immunity (kekebalan kelompok).

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 10 Tahun 2021 mengatur pelaksanaan VGR secara lebih rinci (biofarma.co.id). Tidak hanya dunia usaha atau dunia industri yang bergotong-royong membantu pemerintah dalam skala yang luas, akan tetapi bisa dipastikan lapisan masyarakat terbawah (keluarga) terketuk hatinya saling bahu-membahu membantu orang-orang yang terkena covid-19 di sekitar mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Penulis termasuk salah satu dari lapisan masyarakat bawah yang beberapa hari ini turut serta membantu beberapa tetangga dan saudara dekat yang isolasi mandiri (isoman). Beberapa hari harus menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk memberikan sekadar makanan-minuman ke anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya yang sedang berada di lokasi isolasi.

Demikian pula, ketika sang Ayah meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat intensif, Ibu dan anaknya pun giliran harus menjalani isolasi di lokasi yang disediakan pemerintah daerah, maka penulis dan para tetangga bergantian menjaga rumah dan merawat hewan ternak yang ditinggalkan.

Keacuhan sesama warga negara di atas merupakan secuil gambaran gotong-royong yang dipraktikkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan. Sangat banyak contoh-contoh filantropi lainnya yang dilakukan oleh individu, kelompok, organisasi massa, partai politik, dan lain-lainnya. Namun, beberapa ironi bermunculan dan menghiasi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang benar-benar membutuhkan rasa empati yang tinggi.

Kasus korupsi kelas kakap di kala pandemi yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, dan Menteri Sosial, Juliari Batubara, bak petir di siang bolong, mengagetkan semua warga negara yang sedang berusaha menguatkan rasa empati, filantropi, maupun karakter gotong-royong. Tentu saja, perbuatan nirempati yang dilakukan oleh kedua Menteri ini tidak dilakukan sendirian. Pasti melibatkan beberapa orang yang bisa dikatakan bergotong-royong dalam keburukan.

Seperti halnya secuil gambaran gotong-royong dalam kebaikan, gambaran gotong-royong dalam keburukan ini pun sering terjadi. Banyak kasus serupa terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan di daerah maupun di pusat yang dilakukan oleh oknum-oknum yang nirnurani. Sungguh, ironi di tengah pandemi.

Menurut Unayah (2017), tergerusnya karakter gotong-royong disebabkan dinamika perkembangan sosial budaya yang berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat. Sikap hidup individualisme, materialisme, dan komersialisme mengiringi setiap jengkal kemajuan di berbagai bidang kehidupan manusia. Gotong-royong yang dilakukan secara ikhlas atau tanpa pamrih sudah beralih pada kepentingan materi atau uang atau balasan apa pun yang dikehendaki untuk kepentingan sesaat.

Eksperimen Marshmallow untuk Indonesia

Menumbuhkembangkan karakter gotong-royong yang kukuh pada tiap individu rakyat bukanlah sebuah upaya yang singkat dan cepat, melainkan butuh proses yang lama. Memperkuat dan merawatnya juga memerlukan kerja keras dan kerja cerdas yang efektif-efisien dengan tujuan membentuk generasi yang filantropi di masa datang.

Menurut penulis, karena isu utama dalam tulisan ini berkaitan dengan pembentukan karakter seseorang maka teori dan hasil-hasil penelitian yang fokus pada pembahasan psikologi dan perilaku manusia tepat untuk dimanfaatkan sebagai solusinya. Salah satu hasil penelitian yang menarik untuk diaplikasikan adalah eksperimen Marshmallow yang pernah dilakukan oleh Prof. Walter Mischel.

Dari berbagai sumber, penulis simpulkan bahwa eksperimen yang pernah dilakukan oleh Prof. Walter Mischel di tahun 1960-an, mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa karakteristik apa saja yang harus dimiliki seseorang sejak dini (usia pra sekolah) jika ingin sukses dalam hal keuangan, kesehatan, karier, dan juga dalam membangun hubungan sosial di masa akan datang (20-50 tahun setelahnya).

Salah satu aspek penting yang direkomendasikan dari eksperimen fenomenal ini adalah pentingnya memilih sikap delayed gratification. Delayed gratification artinya kemampuan dan kemauan untuk menunda kesenangan yang bisa dinikmati saat ini demi mendapatkan kesenangan yang lebih baik di masa depan. Rahmawati (2021) menjelaskan bahwa secara spesifik, anak yang memiliki delayed gratification dinilai memiliki kemampuan sosial dan akademis yang lebih baik, lebih fasih secara verbal, lebih rasional, memiliki perhatian yang baik, lebih terencana, dan mampu menghadapi stres.

Dalam konteks terjadinya praktik gotong-royong di jalan keburukan, misal: tindakan melakukan suap, korupsi, gratifikasi, dan lain-lain yang dengan sengaja dijalankan untuk meraih keinginan secara instan, lebih cepat, tidak peduli nasib orang lain, egois, dan menghalalkan segala cara, maka hal tersebut menunjukkan pembentukan karakter atau kepribadian yang belum baik di masa kecilnya dulu.

Oleh karenanya, penulis sebagai seorang pendidik saat ini, menilai bahwa sikap delayed gratification sangat penting ditanamkan serentak (secara nasional) pada semua peserta didik dari jenjang pendidikan paling bawah (PAUD) hingga jenjang Perguruan Tinggi. Konsep pembelajaran yang bermuatan delayed gratification bisa diintegrasikan dalam kurikulum masing-masing dan berkelindan dengan 5 nilai PPK (religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotong-royongan) seperti yang diuraikan di atas.

Budaya gotong-royong yang bermuatan sikap delayed gratification bisa dengan ajeg dipraktikkan dalam proses pembelajaran. Misalnya: di satu kelas ada beberapa anak yang terpaksa tidak mengikuti kelas dalam jaring (daring/online), karena kuota internetnya habis, maka seorang guru yang menemui masalah tersebut, bisa bertanya ke anak lainnya yang di rumahnya memiliki akses internet melalui WiFi dan memintanya mau berbagi jaringan ke anak-anak yang tidak mampu membeli kuota internet.

Tentu, akses internet hanya digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Dengan demikian, telah terbentuklah karakter gotong-royong di jalan kebaikan yang bermuatan delayed gratification, karena anak yang memiliki akses WiFi di rumahnya tersebut harus menunda kepuasannya menikmati kecepatan jaringan internetnya demi berbagi dengan teman yang membutuhkan.

Contoh pengejahwantahan budaya gotong-royong yang bermuatan sikap delayed gratification di atas memang terkesan receh/sederhana dan bisa jadi tidak akan memengaruhi karakter bangsa ini secara nasional dalam waktu singkat. Namun, jika semua pihak dari pusat hingga ke daerah memiliki kemauan yang sama untuk memperbaiki nasib bangsa ini ke depan, maka cita-cita menggayuk Gold Generation (generasi emas) di tahun 2045 adalah sebuah keniscayaan.

Aspek penting lainnya yang direkomendasikan dari hasil penelitian eksperimen Marshamllow adalah self control (kontrol diri). Kemampuan delayed gratification dan self control adalah 2 hal yang saling melengkapi dan menguatkan.  Eksperimen Marshmallow membuktikan bahwa anak kecil (usia 4-5 tahun) yang memiliki kontrol diri yang baik dan mau menunda kesenangan, efeknya pada usia dewasa nanti adalah mampu memiliki keterampilan mengatur diri yang baik, perilaku yang lebih positif, keterampilan berpikir yang matang, dan keterampilan emosional yang stabil.

Menurut Ariyanti (2015), kabar baiknya dari lanjutan penelitian ini adalah 2 kemampuan ini bisa diajarkan pada siapa pun dan di usia berapa pun (pada anak prasekolah, anak sekolah, remaja, bahkan pada orang dewasa). Minimal ada 2 tahapan dalam mengajarkan kemampuan ini, tahap pertama adalah menjadi model (teladan) pada siapa saja yang ada di sekitar kita. Jika kita berjanji, maka harus menepati. Jika memiliki tugas, harus segera diselesaikan sesuai waktu yang ditetapkan, dan banyak contoh lainnya.

Tahap kedua adalah adanya komitmen bahwa semua perilaku yang dilakukan memiliki konsekuensi. Jika berperilaku baik, maka konsekuensi yang akan diterima pasti baik. Sebaliknya, jika berperilaku buruk, maka konsekuensi yang akan dirasakan pun hal yang buruk.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis menyakini bahwa karakter gotong-royong dalam kebaikan akan semakin menguat dan mengkristal pada diri tiap warga negara jika mampu memiliki 2 aspek penting, yaitu delayed gratification dan self control. Kedua aspek ini harus diintegrasikan dan diimplementasikan sejak dini dan secara masif oleh semua pihak (semua bidang), khususnya oleh pemerintah dari pusat hingga ke daerah.

2 tahapan yang direkomendasikan di atas (kuatnya teladan/model dan tegasnya komitmen/konsekuensi) harus mampu dijalankan sebaik-baiknya oleh para pemimpin formal maupun para pemimpin nonformal di bidangnya masing-masing. Pada akhirnya, individu-individu masyarakat yang masih condong pada cara berpikir dan cara kerja gotong-royong dalam keburukan akan tergerus sedikit demi sedikit dan berubah ke arah gotong-royong dalam kebaikan. Semoga!