Generasi Perempuan, “Ibu” Pertiwi Masa Depan

Generasi Perempuan,  “Ibu” Pertiwi Masa Depan

Ibu Pertiwi | Unsplash (unsplash.com)

#SobatHebatIndonesiaBaik

#JadiKontributorJadiInspirator

#BerbagiMenginspirasi

#SohIBBerkompetisiArtikel

Indonesia merefleksikan perempuan pada makna yang mulia. Banyak dari lirik lagu kebangsaan yang mengabadikan makna tersebut, seperti jadi pandu Ibuku pada lagu “Indonesia Raya”, dibuai dibesarkan bunda pada lagu “Indonesia Pusaka”, bahkan menjadi sebuah lagu utuh yang berjudul “Ibu Pertiwi”. Beberapa penyebutan istilah juga menggunakan femininitas dalam bahasa Indonesia seperti “Ibu Kota”, “Ibu Pertiwi”, “bahasa ibu” dan sebagainya.

Sebuah paradigma yang baik untuk membangun generasi bangsa yang berkualitas. Urgensi ini disadari banyak pihak sehingga melahirkan gerakan emansipasi wanita, yang mengedepankan pemberdayaan perempuan. Sampai di ranah pemerintahan, gerakan ini berjuang untuk mendapatkan legalitas terhadap hak-hak perempuan. Lalu  apakah perjuangan tersebut sudah tepat?

Aksi Disahkannya RUU TPKS (Tindak Pidana kekerasan Seksual)  | BBC News Indonesia (bbc.com)

Peradaban selalu diikuti dengan budaya dan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis. Keterbukaan akses informasi membuat terjadinya perubahan dan penyesuaian konsep maupun cara pandang seseorang dengan budaya tertentu. Perjalanan historis bangsa Eropa misalnya, perempuan banyak dijadikan sebagai budak seks ketika di masa Yunani kuno dan Romawi. Lebih lanjut di sekitar abad 14 sampai tahun 1650-an, perempuan banyak dibantai karena dianggap sebagai penyihir. Akhirnya mereka melahirkan sebuah gerakan emansipasi bernama feminisme sebagai respon dari sejarah kelam tersebut.

Pembantaian 200-500 ribu Orang di Eropa | Idntimes (idntimes.com)

Feminisme yang lahir di tengah negara dengan budaya liberalis ini masuk ke sebuah negara yang mengadopsi Pancasila sebagai dasar berbangsa. Sebuah negara dengan agama sebagai sila pertamanya. Ini adalah dampak dari keterbukaan akses informasi yang tidak bisa dihindari. Gesekan perbedaan budaya akhirnya banyak terjadi di berbagai tempat dan aspek.

Budaya seperti seks bebas dan bias gender masuk atas nama hak reproduksi bagi perempuan. Di dalamnya memuat hak perempuan atas tindakan aborsi (sedang diperjuangkan di Amerika Serikat), seks pranikah, hak menolak memiliki keturunan (childfree), LGBT, hak menolak berhubungan seksual sampai kesetaraan gender. Semua atas dasar kebebasan yang datang dari sempitnya cara berpikir sepihak sehingga tidak melihat batasan norma. Lalu apa dampak dari masuknya sebuah konsep dari latar belakang budaya yang berbeda?

Hak-hak yang dianggap sebagai hak perempuan tadi justru akan melahirkan masalah baru, karena hanya ditinjau dari kebebasan perempuan. Kita ambil contoh hak atas tindakan aborsi, dampak lebih lanjut dari tindakan ini tentu saja malah akan membuat banyaknya pelaku seks bebas di luar sana. Apalagi tindakan aborsi ini dianggap berisiko bagi perempuan. Dilansir dari halodoc, tindakan aborsi menimbulkan dampak seperti pendarahan hebat, infeksi, kerusakan rahim, sampai infeksi peradangan panggul yang dapat mengurangi kesuburan perempuan.

Kita ambil contoh lain yakni LGBT dan seks bebas. Penyimpangan terhadap orientasi seksual ini mengakibatkan berbagai dampak seperti rantai. Dampak yang apabila tidak dihentikan akan terus berlanjut dan menulari pihak-pihak yang bukan LGBT. Mengutip data dari Ditjen P2P (Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) tentang Laporan Perkembangan HIV/AIDS tahun 2019, faktor terbesar dari penyakit AIDS di Indonesia yaitu heteroseksual disusul dengan homoseksual.

Persentase AIDS Menurut Faktor Risiko  |  Ditjen P2P (pusdatin.kemkes.go.id)

Kaum feminisme ini juga berjuang untuk mencegah pernikahan usia dini, namun di sisi lain memperbolehkan perilaku seks bebas. Hal ini dengan digaungkannya konsep berhubungan seksual dengan aman yakni menggunakan kondom sebagai gantinya. Yang nyatanya, tidak selalu aman dan banyak yang hamil di luar nikah.

Dari berbagai permasalahan di atas, dapat ditarik sebuah benang merah yang mengarah pada penghancuran perempuan dan generasi suatu bangsa. Bagaimana perempuan akan terlindungi bila sebagian besar hak-hak tersebut justru membahayakan perempuan. Bagaimana generasi akan tumbuh bila tindakan aborsi dan childfree bermunculan. Bagaimana generasi hebat akan lahir dari rahim seorang perempuan yang melakukan seks bebas.

Padahal peradaban bermula dari lingkup yang paling kecil, yakni keluarga. Seorang penyair Hafiz Ibrahim mengungkapkan bahwa, “Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik  pokok pangkalnya”. Kemuliaan perempuan berbanding lurus dengan peran besar yang menyertainya. Dari rahim perempuan akan lahir seorang ilmuwan, pemimpin negara, dokter, polisi, dan profesi lainnya. Tapi dari rahim perempuan jugalah akan lahir seorang koruptor, pencuri, dan hal-hal lain yang tidak diinginkan.

Maka hal pertama yang harus tertanam di benak seorang perempuan adalah perannya dalam keluarga (sebagai istri dan ibu), sebelum ia berperan dalam lingkungan masyarakat. Lantas apa yang harus dipersiapkan perempuan untuk membangun generasi berkualitas?

Pertama tentu saja ilmu. Kualitas dan kesempatan perempuan untuk berpendidikan, apapun cabang ilmu yang diminati. Namun tidak cukup sampai di sana, ilmu parenting juga penting bagi perempuan dan juga laki-laki. Tidak hanya belajar saat akan menikah, tapi jauh saat masih di sekolah.

Kedua yaitu berprinsip pada sila-sila Pancasila, bukan nilai-nilai liberalisme (kebebasan di segala lingkup). Karena kebebasan tidak bersifat mutlak, ia juga memerlukan batasan agar kondusif. Budaya luar yang masuk, disaring dan disesuaikan dengan budaya Indonesia.

Peran di ranah pendidikan dan pemerintahan harus cermat dan tanggap. Pendidikan menjadi tempat membangun fondasi dari dalam individu. Sementara pemerintah menjadi perisai yang membatasi budaya-budaya eksternal (luar), seperti dalam hal tontonan, makanan, gaya hidup dan sebagainya.

Itulah makna sebenarnya dari emansipasi wanita. Perempuan dididik dengan ilmu yang menjadi bekal untuk anak dan keluarganya kelak. Perempuan bebas bermimpi, mencari ilmu dan berkarya. Bukan bebas tanpa batas yang merugikan diri sendiri. Bayangkan generasi seperti apa yang lahir dari rahim seorang perempuan yang penuh dengan ilmu.

Pembagian peran perlu menjadi perhatian. Perempuan tidak harus selalu sama perannya dengan laki-laki. Bukankah keseimbangan dan keteraturan dunia bisa terwujud karena banyaknya peran yang berbeda. Tidak semua orang berperan sebagai tentara, bagaimana jika ada tentara yang tertembak ketika bertugas? Bukankah harus ada yang berperan sebagai dokter. Perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki fitrah yang saling melengkapi peran. Perempuan dan laki-laki disatukan dalam peran keluarga yang nantinya akan menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.