Generasi Cashless dan Pulih Bersama Ekonomi Digital

Generasi Cashless dan Pulih Bersama Ekonomi Digital

Ilustrasi menggunakan ponsel untuk bertransaksi digital | Pixabay (DrMedYourRasenn)

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohibBerkompetisiArtikel

Pandemi tidak hanya datang dengan wajah buruknya, pandemi memberikan sebuah hikmah dan mengajarkan banyak hal dalam membentuk sebuah kebiasaan baru, salah satunya adalah tren penggunaan internet. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2022, pengguna internet Indonesia naik dari 175 juta menjadi 220 juta pengguna selama dua tahun terakhir.

Internet pun mirip dengan pandemi, ada sisi buruk dan sisi baiknya. Namun kita akan tertinggal dengan bangsa lain jika terus memanfaatkan sisi buruknya saja. Ekonomi digital merupakan sisi baik yang harus kita tonjolkan.

Ekonomi digital bukan lagi hal asing. Bagaimana kita bangun tidur, lalu mengecek media sosial dan menemukan berbagai iklan produk berseliweran. Sama halnya ketika kita hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba kita tidak membawa uang tunai namun kita ingin membeli segelas kopi, kita tidak usah balik ke rumah atau meminjam uang teman, kita tinggal buka saja ponsel dan bayar dengan memindai kode QR. Tentu saja dengan catatan, ada saldo cukup di uang digital kita. Jika belum ada, selamat bekerja banting tulang peras keringat dengan giat agar dompet digital cepat terisi padat.

Setiap hari kita secara tidak langsung sudah berinteraksi dengan ekonomi digital. E-commerce, mobile banking, dompet digital, uang digital, dan transaksi digital merupakan bagian-bagian tak terpisahkan dari ekonomi digital dan semua itu sudah pasti membutuhkan jaringan internet. Generasi yang terbiasa dengan semua itu disebut sebagai generasi cashless karena semua mengandalkan sebuah perangkat gawai, tak perlu kertas lagi.

Dengan jumlah pengguna internet mencapai 220 juta, kita sudah menang banyak sebenarnya. Ada berbagai peluang dan potensi pasar menggiurkan di depan mata. Pandemi yang telah memorakporandakan segala lini kehidupan masih bisa kita bangun kembali dengan gaya hidup cashless.

Sumber: dokpri
Bukti transaksi menggunakan mobile banking, jadi cashless jadi paperless | Dokumentasi pribadi

Saya melihat betul, bagaimana para generasi cashless ini mampu memanfaatkan peluang dan potensi pasar di depan. Generasi ini ternyata tidak terpusatkan di ibu kota dan kota peri-perinya saja bahkan ternyata sudah menyentuh sampai ke daerah-daerah. Ketika saya baru pindah pertama kali dari Depok Jawa Barat ke Sleman Yogyakarta, saya mengalami sendiri, ekonomi digital benar-benar diimplementasikan pemerintah daerah setempat dengan cukup baik. Kalau di daerah Jabodetabek, jangan ditanya lagi, semua memang sudah terdigitalisasi karena markas besarnya memang di sana, dekat dengan istana negara, dan perusahaan-perusahaan besar juga terkonsentrasi di sana, jadi wajar saja.

Begitu saya turun dari kereta di Stasiun Tugu Yogyakarta, saya langsung menuju ke loker penitipan barang agar saya bisa jalan-jalan terlebih dahulu ke daerah-daerah di Yogyakarta sebelum menempati tempat tinggal saya yang baru. Saya tidak membawa banyak uang tunai waktu itu, mulanya saya khawatir pihak kasir akan menolak pembayaran non tunai saya, namun kenyataannya saya justru dianjurkan membayar menggunakan uang elektronik. Karena saya terbiasa memakainya untuk mobilisasi sehari-hari di KRL Jabodetabek, saya tentu saja menyimpan uang elektronik tersebut.

Sumber: dokumentasi pribadi
Yogyakarta menyambut G20 dengan wajah transformasi digitalnya | Dokumentasi pribadi

Tak cukup sampai di situ, ketika saya menginjakkan kaki di Candi Prambanan, petugas juga memperbolehkan saya memakai uang elektronik sebagai alat pembayaran masuk ke kawasan wisata candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno itu. Di dalam ataupun di luar kawasan wisata, saya menemukan banyak sekali pedagang memasang kode Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di lapak mereka. Akhirnya saya tidak perlu lagi ke ATM untuk mengambil uang, saya tinggal pindai QRIS tadi untuk membeli bakso dan es teh.

Sumber: dokumentasi pribadi
Tinggal tap dengan uang elektronik untuk masuk Candi Prambanan | Dokumentasi pribadi

Pengalaman sebagai generasi cashless ini mengajarkanku banyak hal, bukan sebatas ikut-ikutan tren, melainkan sebagai upaya memulihkan ekonomi dengan digitalalisasi pasca dua tahun terakhir digempur pandemi. Pandemi belum sepenuhnya berakhir, ancaman virus masih mengintai di balik tirai kecerobohan. Dengan cashless ini, saya turut menekan angka penyebaran virus. Masyarakat setempat juga pasti terbantu dengan penemuan tercanggih abad ini. Mereka tidak perlu memusingkan akan dijual ke mana produk mereka, bagaimana jika tidak ada uang kembalian, bagaimana menjangkau pasar sampai ke seluruh dunia dan berbagai pertanyaan tradisional lainnya.

Generasi cashless ini selaras dengan upaya pemerintah pusat dalam agenda Presidensi G20. Menurut situs Kemlu, ada tiga kunci fokus pemerintah dalam upaya pemulihan perekonomian dunia berkelanjutan pasca pandemi yakni penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi.

Transformasi digital bukan lagi sebuah keharusan melainkan sebuah keniscayaan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, bisa atau tidak bisa, semua aspek akan terdigitalkan. Pertanyaan besarnya adalah apakah kita siap menyambut dunia baru dengan kebiasaan barunya.

Untuk bisa sampai ke tahap digitalisasi, generasi cashless ini perlu terus mengampanyekan literasi digital untuk menciptakan kemampuan digital yang baik. Media sosial bisa kita gunakan sebagai salah satu dari sekian banyak cara karena sejatinya media sosial itu mirip senjata di mana di zaman dulu orang berperang menggunakan senjata fisik berupa pistol, tombak, atau pedang- di zaman digital ini kita berperang menggunakan media sosial. Tentu saja bukan perang melawan musuh fisik melainkan perang melawan kebatilan, ketertinggalan, kerusakan lingkungan, dan melawan kemiskinan.