Gempuran Disinformasi dan Transformasi Digital: Tantangan yang Harus Dihadapi Demi Wujudkan Pemilu yang Tertib dan Anti Hoax

Gempuran Disinformasi dan Transformasi Digital: Tantangan yang Harus Dihadapi Demi Wujudkan Pemilu yang Tertib dan Anti Hoax

Pemilihan Umum | aktualitas

#SohibBerkompetisiArtikel

Motor penggerak mekanisme sistem politik Indonesia yang menjadi definisi dari Pemilihan Umum atau biasa disingkat pemilu. Pemilu sangat erat kaitannya dengan politik dan pergantian pemimpin.

Dilansir dari laman Komisi Pemilihan Umum, dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari proses akumulasi kehendek masyarakat.

Indonesia sebagai negara demokrasi pastinya juga menggelar pemilu untuk pergantian pemimpin, yang mana saat ini, era kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah berada di penghujung masa jabatan. Maknanya, pemilu atau kerap juga disebut sebagai pesta demokrasi akan kembali dihelat di Indonesia.

Nah, jika membahas seputar pemilu yang tidak lama lagi dihelat kembali di Indonesia, ada baiknya kita sebagai warga negara Indonesia bisa tahu apa saja yang menjadi tantangan yang akan dihadapi menjelang pemilu nih SohIB. Salah satu hal menarik yang patut dibahas terkait tantangan dalam pelaksanaan pemilu ialah keterkaitan antara transformasi digital, termasuk segala perkembangan pesat teknologi di dalamnya yang juga membuka pintu penyebaran disinformasi.

Tren penyebaran disinformasi terkait dengan pemilu

Ilustrasi hoax I Kompas: shutterstock

Menurut buku Journalism, ‘Fake News’ & Disinformation (2018), terbitan UNESCO, disinformasi adalah kebohongan yang disengaja dan secara aktif diinformasikan oleh aktor jahat. Dalam konteks pemilu, disinformasi dapat mencakup klaim palsu tentang kandidat atau partai politik, pengaruh asing pada hasil pemilu, atau bahkan informasi palsu tentang cara memilih.

Seperti yang umunya telah diketahui SohIB, bahwa disinformasi mengenai pemilu bukanlah hal baru yang disadari oleh sejumlah pihak, baik itu pemerhati pemilu, akademisi, hingga penyelenggara pemilu itu sendiri sebagai salah satu tantangan besar dalam penyelenggaraan pemilu.

Salah satu cara disinformasi dapat disebarkan ialah melalui perantara media sosial. Melalui media sosial, informasi dengan mudahnya dapat disebar tanpa disaring ataupun diverifikasi. Selain itu, algoritma media sosial sering kali menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan individu, sehingga dapat memperkuat keyakinan yang sudah ada dan mendorong pembentukan silo informasi yang kemudian akan memperkuat kesenjangan pandangan.

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kominfo telah memblokir 565.449 konten hoax dan berita di media sosial begitu pula internet sepanjang 2021. Bukan hanya itu, pada Pemilu 2019 lalu, Kominfo juga menemukan sebanyak 3.356 hoaks yang tersebar pada Agustus 2018 hingga 30 September 2019 lalu. Berdasarkan data, hoax terbanyak yaitu terkait isu politik sebanyak 916 konten, yang tengah bertepatan dengan momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).

Badan Pengawas Pemilu Umum (Bawaslu) RI juga mengantisipasi terkait potensi penyebaran konten hoax yang dapat mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan tembusnya angka pemilih pemuda sekitar 60 % pada Pemilu 2024 mendatang.

Menurut Media Indonesia, berkenaan dengan disinformasi yang sengaja disebarkan oknum yang tidak bertanggung jawab di dunia maya, baik itu berita bohong maupun kampanye hitam, ada beberapa upaya yang harus diambil guna meminimalisir efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh disinformasi.

  1. Semua pihak harus berkomitmen melawan segala bentuk berita palsu dengan penguatan literasi media kepada masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan mengintegrasikan materi literasi media ke dalam kurikulum berbagai lembaga pendidikan.
  2. Pemerintah juga perlu secara konsisten menyelenggarakan kampanye tentang kesadaran publik akan bahaya yang dapat ditimbulkan dari disinformasi politik.
  3. Mengapresiasi segala upaya pemerintah yang telah bersinergi dengan perusahaan platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan juga Instagram dalam membantuk mengidentifikasi dan menyaring konten palsu dan melawan hukum.

Tentunya, upaya-upaya tersebut harus diimbangi dengan komitmen menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan berekspresi yah SohIB. Jangan sampai malah tindakan-tindakan dengan tujuan mengeliminasi disinformasi politik menjadi dalih untuk membungkam kritik ataupun berbagai ekspresi yang tidak sejalan dengan kepentingan politik pihak tertentu.

Transformasi digital dalam pemilu

Tranformasi digital I Vero

SohIB, selain disinformasi, tantangan kedua dalam penyelenggaraan pemilu ialah kemampuan beradaptasi di era transformasi digital secara tepat. Transformasi digital merupakan suatu fenomena yang nyata terjadi yang tidak dapat dihindari dan telah mengubah pelbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam pelaksanaan pemilu. Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemilu juga perlu untuk mengadopsi teknologi untuk mempercepat proses pemilihan dan membuatnya lebih efisien, karena transformasi digital telah melahirkan banyak manfaat dalam pemilu, termasuk dalam peningkatan efisiensi dan akurasi.

Sebagaimana data yang telah disebutkan sebelumnya pada Pemilu 2024 mendatang angka pemilih pemuda menembus sekitar 60 %.  Yang mana pemuda ini ialah yang dikenal sebagai generasi digital. Artinya, sudah seharusnya penyelenggara pemilu pun dituntut untuk beradaptasi dengan dunia digital.

Menurut Republika, dalam praktik penyelenggaraan pemilu di Indonesia, realitanya KPU telah memanfaatkan teknologi digital pada beberapa tahapan pemilu, di antaranya yaitu aplikasi Lindungi Hakmu yang bertujuan untuk membantu masyarakat mengecek nama apakah telah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Selain itu, KPU juga telah membentuk Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), yang mencakup tata cara pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu secara digital. Ada juga Sistem Informasi Pencalonan Pilkada (Silon), Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), dan Sistem Informasi Logistik (Silog).

Namun, penting nih SohIB untuk diingat bahwa adopsi teknologi dalam pemilu juga bisa membawa risiko tersendiri. Misalnya, adanya risiko keamanan siber yang dapat merusak integritas pemilihan. Oleh karena itu, perlu kebijakan dan pengawasan yang tepat dalam adopsi teknologi di pemilu.

Pemanfaatan teknologi digital dalam pemilu juga perlu menimbang berbagai aspek, seperti ketersediaan dana hingga keamanannya. Selain itu, pemerintah sebaiknya bercermin pada pengalaman negara lain yang telah mengadopsi teknologi digital dalam penyelenggaraan pemilunya.

Dengan begitu, pelbagai kekurangan ataupun kelemahan dari transformasi digital dapat dikaji dan diantisipasi oleh penyelenggara pemilu. Langkah antisipatif seperti itulah yang diharapkan bisa ditingkatkan oleh penyelenggara pemilu bersama dengan para pemangku kepentingan dan tentunya didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia, sehingga dapat terwujud penyelenggaraan pemilu yang lebih baik dan tertib.