Figur Bung Hatta sebagai Tokoh Literasi Kemerdekaan Indonesia

Figur Bung Hatta sebagai Tokoh Literasi Kemerdekaan Indonesia

Bapak Proklamator, Bung Hatta

SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Tiada seorang pun yang tidak mengenal Bung Hatta, Bapak Proklamator Bangsa Indonesia. Bung Hatta dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Nama lahir Bung Hatta adalah Muhammad Athar. Diberi nama Muhammad merujuk kepada Nabi terakhir dalam Agama Islam yakni Muhammad sedangkan Athar bermakna wangi atau harum. Sejak kecil, Bung Hatta termasuk orang yang hemat, tidak pernah membelanjakan uang untuk hal yang tidak perlu. Kegemarannya membaca buku. Bung Hatta terbiasa hidup disiplin. Ada waktu mengaji, waktu sekolah, dan waktu bermain.  Ia tidak banyak bermain di luar rumah karena teman sebayanya tidak banyak.  Hatta kecil termasuk pribadi yang pendiam dan serius. Bung Hatta juga sering berkunjung ke nagari Batuhampar. Kaitan nagari Batuhampar dengan Bung Hatta karena Batuhampar adalah kampung halaman ayahnya, Muhammad Djamil. Muhammad Djamil adalah anak dari Syekh Abdurrahman yang dikenal dengan nama Syekh Batuhampar. Syekh Batuhampar adalah ulama yang sangat dihormati dan juga guru Tarekat Naqsabandiyah. Murid beliau tersebar mulai dari Jambi, Palembang, Bengkulu hingga Semenanjung Malaya. Tentang kakeknya Bung Hatta menulis, “Saya tak pernah bertemu dengan kakekku, sebab sebelum saya lahir beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Beliau digantikan oleh anak (laki-laki) tertua Haji Arsad sebagai Syekh Batuhampar.” Haji Arsyad itulah yang sering membawa Bung Hatta ketika kecil ke Batuhampar.

Ketika bersekolah Bung Hatta dapat dikatakan murid yang cerdas. Beliau masuk Sekolah Rakyat dan menikmati kelas satu hanya sebentar lalu masuk ke kelas dua. Kelas yang sama dengan kakaknya, Rafi’ah. Bung Hatta juga belajar Bahasa Belanda dengan Mr.Jansen. Dua tahun di Sekolah Rakyat, Bung Hatta kemudian pindah ke Sekolah Belanda, ELS (Europese Lagere School). Mulanya ia tidak setuju karena telah merasa cocok dengan teman-temannya di Sekolah Rakyat. Atas bujukan Mr.Jansen dan Paman Saleh, akhirnya Bung Hatta mau juga pindah ke ELS. Tidak banyak anak bumiputra yang belajar di ELS. Yang dapat belajar di ELS adalah anak pegawai pemerintah Hindia Belanda dan orang kaya saja. Di ELS, Hatta diterima di kelas dua. Pagi hari Bung Hatta belajar di ELS, sorenya belajar bahasa Belanda, sesudah maghrib belajar mengaji di surau. Bung Hatta menamatkan pendidikan di ELS pada tahun 1916 di Kota Padang.

Ketika remaja Bung Hatta berkeinginan untuk masuk HBS (Hogere Burger School) di Jakarta. Akan tetapi ibunya tidak menyetujui karena ibunya khawatir Bung Hatta nantinya terpengaruh pergaulan kota besae dan lupa dengan agamanya. Mulanya Hatta tidak mau masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Ia serius ingin melanjutkan sekolah di HBS di Jakarta. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk memilih bekerja saja ketimbang sekolah. Tapi pamannya membujuk agar Bung Hatta menuruti ibunya untuk melanjutkan sekolah ke MULO, ia pun menurut. Di MULO, Hatta mendapat pelajaran sejarah tentang nilai-nilai kebangsaan. Pada tahun 1918, Bung Hatta berkenalan dengan Nazir Datuk Pamontjak alumni HBS yang datang dari Jakarta. Dalam kesempatan tersebut diadakan acara Rapat dengan para pelajar sekolah menengah di Padang dan Bukittinggi. Rapat tersebut berlangsung dengan baik atas bantuan Engku Taher Marah Sutan (Sekretaris Sarekat Usaha). Pada rapat itu, Nazir Datuk Pamontjak menyadarkan pelajar Sumatera pentingnya wadah pemersatu bagi pemuda Sumatera Barat.

Di Padang, Bung Hatta belajar agama dengan Haji Abdullah Ahmad. Abdullah Ahmad merupakan guru agama di sekolah yang didirikan oleh Sarekat Usaha. Dari situlah Bung Hatta mengenal Sarekat Usaha dan mengenal Engku Thaher Marah Sutan (sekretaris Sarekat Usaha). Bung Hatta mulai mengenal surat kabar Utusan Hindia yang dipimpin Abdul Muis. Abdul Muis adalah tokoh panutan Bung Hatta. Abdul Muis layak disebut sebagai singa podium karena pidatonya yang memukau khalayak. Sejak menyaksikan pidato politik Abdul Muis, Bung Hatta mulai mengenal dan tertarik pada dunia politik. Setelah lulus dari MULO, beliau melanjutkan pendidikan ke Batavia di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School pada tahun 1919.

Setamat sekolah di Padang, pertengahan Juni 1919, Hatta berangkat ke Betawi. Di sanalah untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Mak Etek Ayub, pamannya. Suatu sore di akhir Agustus 1919, Hatta mendatangi kantor Mak Etek Ayub di kawasan Patekoan. Saat itulah, Ayub menyatakan akan membiayai Hatta selama di Jakarta. Uang sekolah dan belanja harian Bung Hatta ditanggung oleh Mak Etek Ayub. Mak Etek Ayub memberikan uang belanja sebesar 75 Gulden perbulan. Uang kiriman dari keluarga di kampung disimpan di Bank Tabungan Pos. Mak Etek Ayub pula yang memperkenalkan Hatta pada buku. Suatu sore di akhir Agustus, Mak Etek Ayub membawa Bung Hatta ke toko buku di kawasan Harmonie. Ia membeli tiga buku tentang sosial dan ekonomi yaitu Staathuishoudkunde karangan N.G. Pierson, De Socialisten yang disusun H.P. Quack, dan Het Jaar 2000 yang ditulis Belamy. Buku-buku tersebut dapat dikatakan sebagai dasar perpustakaan pribadi Bung Hatta. Lulus dari Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik atau Prinshendrick School pada 1921, Hatta pergi ke Rotterdam untuk belajar ilmu bisnis di Nederland Handelshogeschool, Belanda.

Di Belanda, Bung Hatta menetap selama 11 (sebelas) tahun. Bung Hatta menerima beasiswa Van Deventer Stichting. Bung Hatta juga gemar menulis. Tulisannya dimuat di Surat Kabar Neraca dan mendapatkan honor tulisan sebesar 50 Gulden. Sambil kuliah Bung Hatta aktif dalam organisasi Indische Vereeniging. Indische Vereeninging ini kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada kepengurusan baru 1924, organisasi ini dengan tegas menyatakan non koperasi yakni menolak kerjasama dengan Belanda untuk mencapai tujuan Indonesia Merdeka. Dalam tahun itu juga Perhimpunan Indonesia menerbitkan bunga rampai peringatan Gedenkboek Indonesische Vereeniging 1908-1923. Bung Hatta menyumbang satu tulisan yang berjudul Indonesia ditengah-tengah Revolusi Asia. Tulisan Bung Hatta itu memicu kehebohan di Belanda. Pers Belanda mengkritik bahwa pelajar Hindia Belanda telah dihinggapi semangat revolusioner yang susah dieleminasi.

Pada tahun 1932, Bung Hatta kembali ke Indonesia. Sebelumnya untuk mencapai gelar doktoral, beliau telah berhutang untuk mendapatkan beasiswa kepada Mr.Van Leeuwen. Kesepakatan antara Bung Hatta dengan Mr.Van Leeuwen bahwa beasiswa yang berupa pinjaman itu dibayar dengan cara angsuran setelah pulang ke Indonesia. Bung Hatta bermaksud melunaskan beasiswanya tersebut. Pendapatnya dari honor surat kabar tidak mencukupi dan beliau juga disibukkan dengan pergerakan kemerdekaan. Bung Hatta sempat meminjam uang ke firma Djohar Djohor sebesar 6000 Gulden namun ketika sedang merundingkan hal tersebut beliau ditangkap. Tak lama kemudia Beliau diasingkan ke Boven Digul lalu ke Banda Neira.  

Diasingkan ke Boven Digul dan Banda Neira adalah hal yang menakutkan bagi aktivis gerakan kemerdekaan masa itu. Namun bagi Bung Hatta tidak ada ketakutan atas pengasingan itu. Tak masalah jika aku harus dipenjara, namun aku ingin dipenjara bersama buku, karena dengan buku aku menjadi bebas. Ucapan itu yang disampaikannya kepada orang yang akan mengasingkannya. Untuk memotivasi minat baca Mahasiswa Indonesia, quote Bung Hatta tersebut perlu ditempelkan di Perpustakaan atau pun Taman Bacaan Masyarakat. Dipenjara bersama buku membuat seseorang itu menjadi pintar dan bijaksana dengan menemukan inspirasi baru tentang obyek yang sedang dibacanya. Semangat juang Bung Hatta tak pernah luntur dan beliau tetap menyampaikan gagasan dan pemikiran demi Indonesia Sejahtera meskipun tidak lagi menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.

*****

Bung Hatta memiliki kebiasaan membaca. Wajar istilah kutu buku melekat pada Beliau. Sejak umur 16 tahun sudah mengoleksi buku ketika masih belajar di Prins Hendrikschool, Batavia. Bahkan, selama 11 tahun di Negeri Belanda, Bung Hatta sudah memiliki buku sekitar 8.000 judul. Hebatnya lagi, hadiah perkawinan Bung Hatta kepada Bu Rahmi, juga berbentuk pemberian sebuah buku karya Sokrates.

Seumur hidupnya Bung Hatta memiliki 800 karya yang berbentuk artikel surat kabar, buku, esai, makalah dan pidato. Tulisan Bung Hatta tidak hanya berkisar gagasan tentang ekonomi dan keuangan, akan tetapi juga filsafat, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan agama serta politik kenegaraan. Karya Bung Hatta yang paling monumental berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka yang diterbitkan pada tahun 1931 dalam Koran Daulat Ra’jat. Artikel yang diterbitkan dalam surat kabar yang dikelola oleh sebuah organisasi pergerakan nasional bernama Pendidikan Nasional Indonesia – Baru (PNI-Baru). Akibat tulisan ini, Bung Hatta dianggap radikal oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Artikel yang  berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka merupakan sumber literasi kemerdekan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia yang terjajah perlu memahami hakikat kemerdekaan. Secara garis besar, artikel tersebut ingin menyuarakan bahwa rakyat harus bergerak memerdekakan diri dan tidak bergantung pada cendekiawan atau tokoh petinggi negeri saja. Hakikat yang terkandung dalam tulisan Bung Hatta itu adalah bahwa rakyat harus dapat berdaulat atas dirinya sendiri. Ini menjadi sumber semangat bagi seluruh lapisan masyarakat kolonial untuk bergerak aktif dalam memperjuangkan nasib mereka sebagai sebuah bangsa yang mandiri, dan tidak lagi sekadar menyerahkan keputusan kepada segelintir orang yang dianggap mumpuni seperti cendekiawan. Nilai-nilai lain yang terkandung dalam tulisan ini antara lain adalah demokrasi, musyarawah dalam mufakat, dan rasa kerakyatan.

Literasi kemerdekaan yang dikenalkan Bung Hatta melalui tulisannya adalah konsep yang terarah tentang pembangunan suatu bangsa. Setelah merdeka diharapkan Bangsa Indonesia bersatu padu membangun bangsa dan negaranya serta menghindarkan gontok-gontokan politik yang tidak perlu. Untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia, Bung Hatta menawarkan konsep Koperasi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Dengan koperasi, kesejahteraan tidak hanya diperoleh anggota Koperasi an sich namun juga masyarakat dapat diberdayakan secara eknomi. Literasi kemerdekaan yang dilandasi dengan semangat  berkoperasi akan menjadikan bangsa Indonesia berdaulat dan berdiri diatas kaki sendiri (berdikari) di masa depan.