Bonus Demografi Indonesia: Ancaman atau Peluang?

Bonus Demografi Indonesia:  Ancaman atau Peluang?

Untuk Bumi yang Berkelanjutan (Pict from : Freepik)

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi

Umat manusia pasca pandemi akan mengalami banyak hal. Mulai dari adaptasi interaksi sosial, aktivitas ekonomi, perubahan tatanan politik hingga perkembangan teknologi yang di luar perkiraan kita. Transformasi kebudayaan juga akan terjadi seiring peralihan generasi. 

Begitu juga bangsa Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2030. Tidak hanya itu, tahun 2045 bangsa kita diperkirakan diperkirakan akan mengalami generasi emas. Situasi di mana piramida penduduk Indonesia dipenuhi oleh usia produktif. 

Di tahun-tahun itu, Indonesia diperkirakan menjadi salah satu negara dengan GDP tertinggi bangsa-bangsa dunia. Indonesia pun akan menjadi negara super power dengan penduduk berusia produktif. Bahkan, bisa jadi Indonesia menjadi pemimpin dunia yang menentukan arah peradaban manusia di planet bumi.

Namun, manusia usia produktif belum tentu dapat bertindak produktif pula. Jika hanya mengandalkan usia saja tidak menjamin mereka mampu memberikan sumbangsih pada negara ini. Padahal bonus demografi akan menentukan kita apakah Indonesia mampu menjadi negara maju atau terjebak pada “middle income trap”. Middle income trap merupakan jebakan pendapatan menengah dan tanggung. Mereka tidak kaya, juga tidak miskin, tetapi lebih cenderung mudah untuk menjadi miskin.

Menteri Keuangan RI, Ibu Sri Mulyani dalam Webinar Road to G20-Securitization Summit sepeti dilansir Vice menyebutkan bahwa ke depan anak muda Indonesia bakal kesulitan memiliki rumah pribadi. Harga tanah yang semakin melonjak dan bahan bangunan yang tidak bisa diikuti oleh daya beli generasi muda menjadi sebab. Ada sebanyak 12,75 juta rumah tangga saat ini masih tinggal di rumah yang bukan miliknya. 

House in Frepick
Model house on project blueprints | Sumber: From Freepik.com

Belum lagi hari ini dunia sedang menghadapi berbagai macam ancaman. Setidaknya ada dua macam krisis yang dihadapi manusia, krisis ekologis dan krisis kemanusiaan (perang antar negara). Kedua krisis ini sama-sama mengancam stabilitas dunia. Mulai dari inflasi, kelangkaan bahan bakar hingga ancaman ekologis yang perlahan terasa. 

Krisis ekologis yang mengancam dunia akhir-akhir ini memiliki pergerakan yang pelan tapi pasti. Tidak seperti pandemi yang daya desktruktifnya sangat cepat memporak-porandakan pergerakan dunia dalam 2,5 tahun saja. Krisis iklim perlahan mengintai manusia sejengkal demi sejengkal. Perubahan cuaca ekstrim selama beberapa tahun terakhir menjadi cerminan kondisi yang bisa kita rasakan.

Kemarau hebat melanda beberapa wilayah | Sumber: freepik.com

Beberapa waktu lalu banyak wilayah di dunia mengalami kemarau hebat yang berakibat kekeringan lahan hingga kebakaran hutan. Gelombang panas dari tahun ke tahun menghantui warga India. Gelombang panas ini berpengaruh pada sektor ekonomi karena warga India menggantungkan diri pada sektor pertanian. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)  mencatat selama 2022 terjadi 1971  bencana di Indonesia. 770 kali kejadian banjir, 701 kali kejadian puting beliung, serta 379 kali kejadian tanah longsor. Bencana ini berdampak pada 8,6 juta jiwa di Indonesia yang juga sedang menghadapi pandemi Covid dengan berbagai varian mulai dari varian Wuhan, Delta, Omicron hingga Sub-Omicron.

Peningkatan curah hujan terjadi di banyak tempat di Indonesia. Curah Hujan meningkat kurang lebih 2,5 mm setiap harinya. Air laut naik lebih tinggi sekitar 0,8-1,2 cm per tahun. Gelombang laut naik setinggi lebih dari 1,5 m. Hal ini mengakibatkan 1800 pantai di Indonesia masuk dalam kategori amat rentan. Banyak perahu-perahu kecil di perairan Indonesia terancam tenggelam jika berlayar. Sebagian besar nelayan Indonesia mengandal perahu kecil untuk menjadi alat pencarian pangannya. Selain itu produksi beras di sejumlah daerah berkurang karena curah hujan yang lebat yang sering mengakibatkan banjir.

Di tengah krisis ekologi serta pandemi covid yang masih menghantui ini, Rusia melakukan invasi ke Ukraina yang memantik berbagai macam konflik baru. Beberapa hari setelah Rusia menyerang Ukraina dikabarkan beberapa negara secara “tidak sengaja” menembakkan alutsistanya ke negara lain. Hal ini seperti yang terjadi pada Korea Utara ke Korea Selatan dan Jepang.

Bertambah pula berbagai macam konflik lain seperti India dan Pakistan, maupun Israel dan Palestina yang semakin memanas. Tidak selesai dengan konflik antar kawasan ini yang mengkhawatirkan lagi adalah konflik Indonesia dengan Malaysia yang saling berebut pengaruh bahasa di ASEAN. Konflik-konflik di atas jika tidak dikelola dengan baik maka akan memperkeruh suasana dunia.

Umat manusia yang berjumlah kurang lebih 7 milyar di bumi terlalu sayang jika harus berhadapan lagi dengan krisis. Belum lagi pertumbuhan generasi alpha yang lahir pada tahun 2013-2021 semakin meningkat. Faktanya, setiap minggu 2,8 juta generasi alpha lahir di seluruh dunia. Betapa kasihan mereka jika masa kecil mereka dihadapkan pada situasi dunia yang tidak aman dan damai.

Forum tingkat global yang menjadi ajang saling mengancam dan memboikot. G20 yang prosesnya sedang dilaksanakan di Indonesia hingga Oktober mendatang menjadi salah satu contohnya. AS dan negara-negara Uni Eropa mendorong Indonesia untuk menolak mengundang Rusia dalam pertemuan G20. Sementara Vladimir Putin akan mengancam dan mengecam G20 jika tidak mengundangnya.

Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang sedang menjadi tuan rumah sekaligus Presidency G20. Indonesia ibarat memilih buah simalakama dan berhati-hati dalam keputusan global. Namun ada peluang yang dapat diambil dari konflik yang berlapis ini. 

Amanat pembukaan UUD 1945 yaitu ikut menjaga ketertiban dunia. Maka Indonesia secara moral-yuridis memiliki dorongan untuk mengurai berbagai macam konflik yang akan memperparah keadaan dunia. Posisi Indonesia sebagai presidency G20  menjadi sangat strategis, karena berpeluang mendamaikan kedua pihak yang berkonflik. Namun, hal ini tidak semudah yang dibayangkan. 

Peran generasi juga menjadi penting untuk diuraikan. Tantangan generasi Y atau milenial (lahir pada tahun 1985-1996), Z (lahir pada 1997-2012) dan Alpha (2013-2022 akan lebih kompleks. Tahun-tahun kritis seperti 2030, 2045 maupun 2050 akan banyak diwarnai oleh tiga generasi ini. Generasi ini memiliki banyak akses informasi karena difasilitasi oleh zaman yang ramah dengan arus informasi. Namun mereka cenderung lebih reaktif dan mudah terbawa oleh dinamika budaya. Budaya pop yang lebih sering meninabobokkan sayangnya lebih banyak digemari para pengguna media sosial daripada untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Sebenarnya jika mereka mampu memanfaatkan situasi dan peluang, mereka mampu mengangkat diri dan masyarakat serta menyelamatkan masa depan dari krisis ini. Dengan bekal kelimpahan teknologi dan informasi, para penerus generasi dapat saling berkolaborasi untuk menolak perang, kampanye perdamaian serta melakukan upaya preventif untuk hidup yang berkelanjutan.