Beban Kerja, Stress, dan Solusinya

Beban Kerja, Stress, dan Solusinya

Stress Kerja

SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Bekerja adalah aktifitas yang menyenangkan. Orang yang bekerja dipandang lebih baik daripada seorang pengangguran. Dengan bekerja roda kehidupan dapat berputar dan berjalan. Bekerja tak hanya sekedar mencari nafkah akan tetapi sekaligus sarana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini sesuai dengan Al-Qur’an Surat As-Saba Ayat 13 yang berbunyi, “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”.

Dengan kata lain bekerja adalah “kata kunci” dari seorang hamba Allah untuk senantiasa kepada Tuhannya. Bahkan ada ulama yang mengatakan bahwa bekerja itu termasuk jihad karena seseorang yang “pergi pagi pulang petang” tidak sekedar menikmati gajinya sendiri namun juga membagi nafkah tersebut untuk anak dan isterinya.

Mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan cita-cita jelas tujuan setiap individu. Untuk mendapatkannya terkadang membutuhkan pengorbanan. Misalnya, untuk berhasil lulus ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) maka seseorang mesti mengorbankan waktu luangnya yang biasa dipergunakan untuk bersantai-santai atau begadang sepanjang malam. Ia akan memanfaatkan waktu luangnya itu untuk belajar agar target untuk lulus ujian Calon Pegawai Negeri Sipil dapat tercapai dengan hasil yang memuaskan.

Seseorang yang bekerja baik di institusi pemerintah maupun swasta memiliki target atau output yang hendak dicapai organisasi. Terkadang target menjadi beban kerja bagi pimpinan dan bawahan. Beban kerja yang tidak terealisasi dapat berubah menjadi beban pikiran. Ketika itu terjadi otomatis kita mengalami stress dan emosi tinggi. Lebih fatal lagi bias menyebabkan stroke!

Dalam kehidupan sehari-hari pernah terjadi hilangnya pengendalian diri dari seorang ayah terhadap anaknya. Ada kasus seorang ayah yang stress karena bokek atau indak bakepeang dimintai uang oleh anaknya. Apa yang terjadi kemudian, ternyata, bukan uang yang didapat oleh sang anak akan tetapi “gambar tangan” yang melekat dipipi. Fenomena sosial ini bisa disebut “pelarian” atas masalah yang terjadi ditempat kerja.

Stress adalah gangguan jiwa yang bermuara dari adanya tuntutan dari dalam dan luar anatomi individu sehingga memaksa otak untuk menemukan solusi atas masalah yang ada. Seseorang yang mengalami penyakit dan menginginkan atau berusaha untuk sembuh tapi tak sembuh-sembuh dapat mengakibatkan stress. Perintah pimpinan yang harus dilakukan namun tidak sesuai dengan hati nurani dan bertentangan agama mengakibatkan seseorang terus menerus dilanda stress selama dia belum melaksanakan perintah sang pimpinan.

Sebagai individu yang terlibat dalam organisasi, stress selalu menjadi “hantu” yang membuat hilangnya konsentrai dalam bekerja. Padahal kunci sukses organisasi berawal dari sikap tekun dan serius dalam bekerja. Stress dianggap “hantu” bila apa yang kita kerjakan untuk mengejar visi dan misi organisasi tidak sesuai dengan output yang diharapkan pimpinan. Segala kegagalan otomatis terbayang dalam imajinasi kita walaupun kita telah pulang kembali ke rumah.

“Biang” stress ditempat kerja dapat terjadi jika karakter kepemimpinan yang dilakoni oleh pimpinan kita mengimitasi gaya otoriter.  Pimpinan berwatak otoriter cenderung mementingkan nilai-nilai kekuasaan dan jauh dari nilai-nilai kekeluargaan. Biasanya segala keputusan yang diambil tidak berdasarkan musyawarah dan mufakat. Karyawan pun dapat kehilangan gairah dalam bekerja. Akibatnya, visi dan misi yang ingin dicapai organisasi menjadi tidak terealisasi sebagaimana yang semestinya.

Stress tak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Stress membutuhkan manajemen stress yang fondasinya adalah kekuatan mental dan pengendalian diri (self-controling). Mental yang kuat hanya dapat dibangun dengan sikap yakin terhadap qadar dan qadha Allah SWT. Tanpa keyakinan terhadap Rukun Iman maka mental seseorang mudah goyah dan rapuh. Orang yang mentalnya lemah cenderung mencari “pelarian”.

Pengendalian diri dapat dibangun dengan sikap sabar yang diperoleh dari ibadah shaum (puasa) yang dilakukan seseorang. Jika pengendalian diri kuat maka emosi dapat dikendalikan sehingga marah menjadi terarah bukan lagi sekedar pelampiasan atas kejengkelan dari peristiwa lain. Dengan pengendalian diri pula kita dapat memilah-milah masalah dan tidak menjadikan obyek lain yang “tak berdosa” menjadi sasaran pelampiasan. Ada beberapa langkah yang dapat mengendalikan stress yaitu :

Pertama, menulis. Dengan menulis stess dapat berkurang karena kita menyalurkan emosi kita dengan tulisan. Ketika masih menjadi anak baru gede kita rajin menulis buku harian, kini tak ada salahnya kita menulis kembali dibuku harian tentang permasalahan yang kita alami dan bagaimana solusinya.

Kedua, Kritik Diri. Sebagai manusia kita tidak selalu benar pasti juga pernah salah. Intropeksi diri sangat diperlukan sehingga stress dapat berkurang dengan mengambil hikmah dari kejadian yang tidak menyenangkan.

Ketiga, Berdamai dengan keadaan. Terkadang kita merasa jengkel dengan orang yang mada (bandel). Orang mada jarang yang mau mendengarkan kita. Apabila mereka menolak mengikuti masukan kita mereka “mengomeli” kita dengan kata-kata kasar. Ini membuat kita strees. Kita harus mengembalikan persoalan ini kepada Allah SWT karena fungsi kita hanya sebagai seorang penyampai informasi yang positif yang kadang diterima dan kadang ditolak. Agar tidak stress maka kita harus berdamai dengan keadaan biarpun keadaan itu tidak menyenangkan hati.

Keempat, Rekreasi. Mengunjungi obyek wisata dapat meminimalkan strees. Indahnya panorama membuat kita untuk sementara melupakan beban kerja yang berat.

Agar solusi diatas dapat berjalan dengan baik, seseorang memerlukan teman sehati dan sejiwa (soulmate). Sahabat dapat dijadikan tempat “curhat” atas problem stress yang kita rasakan. Tak perlu minder menceritakan stress yang kita alami kepada orang lain sebab kita tidak tahu terkadang orang lain memiliki solusi yang lebih baik dari kita.

Pepatah kuno telah menyebutkan carilah olehmu sahabat yang dapat dijadikan obat. Jadi sahabat adalah obat jiwa bagi orang-orang yang stress. Stress dapat dikendalikan namun tidak dapat dihilangkan sepanjang sukma bersemayam dalam raga.