Aparatur Sipil Negara dan Transformasi Digital

Aparatur Sipil Negara dan Transformasi Digital

Ilustrasi Transformasi Digital (sumber: Pixabay/Firmbee)/

Aparatur Sipil Negara dan Transformasi Digital

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Transformasi digital pada pemerintahan merupakan sebuah keharusan. Era digitalisasi mengharuskan pemerintah bertransformasi dalam proses kebijakan maupun dalam pelayanan publik. Digitalisasi pada pemerintahan atau sektor publik (public sector) diharapkan mampu berjalan seperti halnya dilakukan sektor swasta (private sector) selama ini.

Digitalisasi sudah melekat dengan kehidupan sehari hari (dokumen : pixabay.com
Ilustrasi digitalisasi dan kehidupan sehari-hari (sumber: pixabay/StarupStockPhotos)

Kita sepakat bahwa kunci keberhasilan transformasi digital pada sektor publik adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki kecakapan digital yang relevan. Kecakapan itu, diharapkan mendorong pemerintahan berkinerja lebih cepat, akurat, dan efisien, apalagi dengan pandemi Covid-19 yang saat ini masih berlangsung.

Di sisi lain, mandat transformasi digital pemerintahan dalam Inpres nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government maupun Perpres 95 Tahun 2018 Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) ternyata belum disertai kebijakan operasional untuk meningkatkan kecakapan digital para ASN (World Bank, 2020).

Sejurus dengan itu, Wrihatnolo (2020) pada seminar daring Literasi Digital SDM Aparatur di Pusbindiklatren Bappenas menemukan bahwa dari 4.286.918 Jumlah ASN di Indonesia terdapat 1.873.391 dikategorikan “tahu digital”; 524.831 “menerapkan digital”; 93.453 “memanfaatkan untuk menghasilkan pertambahan nilai buat pekerjaan dan dirinya”; 12.975 “memanfaatkan digital untuk meningkatkan produktivitas pekerjaan”.

Artinya hanya 0,3 % dari jumlah ASN yang produktif menggunakan digital untuk pekerjaan mereka. Bayangkan jika pemerintah saat ini hanya bertumpu pada angka tersebut untuk mengungkit transformasi digital 268 juta penduduk Indonesia. Untuk itu, peningkatan transformasi digital para ASN mutlak diperlukan.

Peran ASN dalam transformasi digital mungkin lebih melekat pada ASN yang berusia muda. Data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan penetrasi internet tahun 2022 didominasi oleh kelompok usia 13-18 tahun (99,16%) sedangkan usia 19-34 tahun (98,64%), kelompok 35-54 (87,3%) (Katadata, 2022).

Namun saat ini, jumlah PNS di Indonesia dalam Buku Statistik ASN 2021 justru didominasi oleh kelompok usia di atas 40 tahun. Artinya kelompok inilah yang perlu peningkatan kompetensi melalui up skilling dan re-skilling melalui beberapa pelatihan atau bootcamps termasuk mereka yang berada pada pucuk pimpinan.

Selain itu, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas PNS yang memiliki spesialisasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), perlu di jawab dengan pengembangan komprehensif kompetensi jabatan fungsional yang selama ini ada, misalnya kedepan terdapat jabatan fungsional database administrator, cloud computing engineer, computer network spesialist.

Literasi Digital

ASN yang memiliki literasi digital masih minim. Hening dan Kumara (2019) dalam jurnal IAPA, menyarankan syarat transformasi digital di sektor publik, pemerintah harus memastikan bahwa lebih dari 50% ASN harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Ilustrasi literasi digital merupakan keharusan (sumber : pixabay.com)
Ilustrasi literasi digital merupakan keharusan bagi PNS (sumber : pixabay/kaboompics)

Literasi digital secara umum dianggap sebagai keterampilan menggunakan internet dan media digital dan penggunaan teknologi di dalamnya, padahal literasi digital bukan hanya itu saja. Santi dkk. (2021) dalam Modul Budaya Bermedia Digital menggaris bawahi bahwa kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, namun mampu melakukan proses mediasi media digital secara produktif dan bertanggung jawab.

Diskursus mengenai pengukuran kompetensi literasi digital telah banyak dibahas, salah satunya studi UNESCO yang mengemukakan kompetensi literasi digital terdiri dari tiga komponen: wawasan (knowledge), keterampilan (skills) dan perilaku (attitude).

Lebih lanjut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam dalam Peta jalan Literasi Digital tahun 2021-2024 menawarkan empat area kompetensi sebagai pengukur literasi digital yang terdiri dari :

  • Digital Skills, yaitu kemampuan dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan peranti lunak TIK serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari.
  • Digital Safety, kemampuan dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, menimbang, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.
  • Digital Ethics, kemampuan dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital.
  • Digital Culture, kemampuan dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam pelaksanaannya, Kominfo juga menelurkan kerangka pengembangan SDM digital diantaranya Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi), Digital Talent Scholarship dan Digital Leadership Academy.

Dalam kerangka program Digital Talent Scholarship terdapat pelatihan bertajuk Government Transformation Academy (GTA) yang bertujuan meningkatkan kompetensi 20.000 ASN dalam mendukung akselerasi transformasi digital di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/D). Dalam salah satu kesempatan, penulis pernah tergabung untuk mengikuti pelatihan ini.

Literasi Data

Keberadaan data dalam transformasi digital dan inovasi di sektor publik makin penting sejalan dengan perkembangan dunia yang berbasis data (data-driven world). Data dan transformasi digital kemudian merupakan bagian tak terpisahkan.

Data secara digital (dimaknai sebagai data digital) sekarang makin mudah didapatkan bukan hanya dalam bentuk angka, tetapi gambar dan video bahkan suara. Data tersebut bentuknya ada yang terstruktur maupun tidak dan dapat dianalisis dalam jumlah besar, data digital yang tersimpan dalam jejak digital dalam jumlah besar kemudian sering disebut big data.

Literasi data mutlak diperlukan oleh ASN
Ilustrasi literasi data mutlak diperlukan oleh ASN (sumber: pixabay/xresch)

Big data dalam sektor publik bermanfaat dalam pengembangan inovasi, peningkatan pelayanan publik, dasar pengambilan kebijakan (evidence-based policy) yang tepat sasaran juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.

Literasi data diartikan oleh World Bank sebagai kapasitas untuk mencari, mengakses, membaca, memanfaatkan dan menganalisasi data yang digunakan untuk keputusan yang bertanggung jawab.

Perkembangan transformasi digital saat ini menuntut data yang berasal dari sumber yang kredibel. Literasi data untuk ASN juga penting untuk mendorong budaya pemaparan informasi yang baik kemudian dikemas dengan analisis data yang mumpuni.

Belum ada standar ukuran kompetensi dalam literasi data di Indonesia. OECD (2017) menyatakan bahwa tujuan literasi data di sektor publik lebih condong kepada kemampuan untuk membangun budaya pengambilan keputusan dan pelayanan publik berdasarkan informasi data, kemampuan bekerjasama dengan spesialis data serta kemampuan menjelaskan data dan hasilnya.

Selain itu, Lembaga Statistik Kanada menawarkan 19 kompetensi literasi data yang terdiri dari kemampuan dalam: data analysis, data awareness, sampai storytelling.

Peningkatan literasi digital dan literasi data para ASN merupakan unsur penting dalam peningkatan transformasi digital di Indonesia. Peningkatan tersebut juga merupakan upaya peningkatan indeks e-government Indonesia.

Namun, peningkatan itu akan lebih penting dilakukan bukan semata-mata mengejar peningkatan indeks melainkan sebagai wujud bernegara dalam upaya menciptakan masyarakat Indonesia yang bahagia.