Akibat Pornografi dan Cara Pencegahannya

Akibat Pornografi dan Cara Pencegahannya

Ilustrasi Pecandu Video Porno | Sumber: OcusFocus

#sobatHebatIndonesiaBaik #Jadi KontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBMiniBootcamp

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia tengah dihebohkan dengan kasus penangkapan pemeran video syur “kebaya merah”, di mana video tersebut viral di sosial media Twitter. Tidak dipungkiri bahwa seiring perkembangan zaman, teknologi informasi mempermudah manusia dalam mengakses informasi.

Namun, di lain sisi, hal tersebut dimanfaatkan oleh banyak orang untuk menyebarkan maupun mengakses konten pornografi seperti konten video syur “kebaya merah” tersebut.

Lalu, Apa sih, yang Disebut Pornografi Itu?

Menurut kamus Merriam-Webster, pornografi merupakan penggambaran perilaku erotis yang mampu membangun gairah seksual pada seseorang. Bentuk pornografi tidak hanya disampaikan dari video saja, akan tetapi juga melalui tulisan, gambar, suara, dan lain sebagainya.

Ditemukan fakta mengejutkan mengenai pornografi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The American Psychological Assosiation, mereka menemukan bahwa dari 330 laki-laki yang diteliti, rata-rata mereka telah terpapar pornografi ketika mereka menginjak umur 13 tahun. Padahal, pada usia tersebut masih dikategorikan sebagai kelompok remaja.

Inilah kekurangan dari adanya dunia maya (cyberspace), di mana terjadi banjir informasi (information overload) yang menyebabkan konten pornografi sangat sulit untuk disaring. Pornografi sendiri juga menjadi ancaman, sebab termasuk ke dalam cybercrime yang dapat merugikan banyak pihak.

Bagaimana Dampak dari Pornografi?

Walaupun beberapa orang yang menonton konten pornografi menganggap bahwa ketika mereka menonton pornografi mereka tidak akan merugikan orang lain, namun kenyataannya berdasarkan penelitian yang ada remaja laki-laki yang sering menonton video porno memiliki kemungkinan melakukan pemaksaan hingga kekerasan seksual pada orang lain (Sherman & Mooney, 2019).

Di sisi lain, dari menonton porno, mereka mendapatkan kesenangan, yang mana dopamin meningkat dan menimbulkan efek menenangkan sera rasa senang. Akhirnya, remaja tersebut merasakan kecanduan atau sering juga disebut dengan narkoba lewat mata (Narkolema).

Namun, perlu diingat bahwa dalam jangka panjang pornografi membawa dampak yang buruk bagi kesehatan remaja. Bahkan, dampak dari menonton konten pornografi lebih parah daripada mengonsumsi narkoba.

Menurut DP3AKB Jawa Barat, pornografi dapat menimbulkan kerusakan pada otak remaja. Dopamin yang dihasilkan oleh tayangan saru tersebut akan terus bertambah hingga menimbulkan “kebanjiran dopamin”. Hal tersebut memicu mereka untuk terus mencari kebahagiaan tersebut melalui pornografi.

Apabila hal ini dilakukan secara terus menerus, maka dapat memicu gangguan fungsi pada otak hingga kinerja organ tersebut akan mengalami penurunan hingga kerusakan pada fungsi otak.

Bagian otak yang akan mengalami kerusakan antara lain fungsi Lobus Frontal, Nucleus Accumbens Putamen, Gyrus Insula, Cerebrum, dan Cingulated. Kondisi itu bisa memicu perilaku remaja menjadi tidak dapat terkontrol dengan baik hingga ia merasakan social anxiety. Selain itu, kerusakan fungsi otak juga menyebabkan remaja menjadi mudah melupakan hal penting, sulit dalam membuat suatu keputusan, sulit mengontrol emosi dan hawa nafsu, sehingga berdampak pula pada penurunan kemampuan belajar dan berpikir remaja (DP3AKB Jawa Barat, 2017).

Ketika aktivitas porno seseorang semakin sulit dikontrol, maka hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk melakukan sex bebas di luar pernikahan. Hal ini juga memicu masalah kesehatan lainnya, seperti penyakit menular seksual.

Lebih lanjut lagi, kegiatan tidak baik tersebut dapat mengakibatkan kasus kehamilan di luar pernikahan, sehingga timbul masalah aborsi paksa. Problem kesehatan mental yang dialami karena tekanan saat kehamilan yang tidak diinginkan juga turut mengikuti.

Bagaimana Solusi untuk Mencegah Pornografi?

Pembuatan kurikulum pendidikan seksual yang memuat tentang literasi kesehatan dan pornografi di masing-masing sekolah menengah menjadi solusi pertama untuk mengatasi permasalahan seksualitas. Dalam programnya nanti, siswa-siswa akan didampingi 2 hingga 3 fasilitator yang terlatih dalam literasi kesehatan seksual dan reproduksi maupun pendidikan seksual.

Pelaksanaan kurikulum literasi kesehatan dan pornografi telah terbukti berhasil diterapkan di salah satu sekolah di Boston. Memang, pada awalnya di sekolah tersebut tidak ada kurikulum mengenai literasi kesehatan dan pornografi. Hingga suatu hari, seseorang bernama Jess Alder mencetuskan kursus literasi pornografi.

Kursus yang diberikan membahas dan mendiskusikan banyak hal mengenai sex, tetapi mereka tidak melibatkan video porno dalam pengajarannya. Daripada hanya memberikan informasi tentang sex saja, berdiskusi mengenai penelitian tentang pornografi dapat memeriahkan forum (Sherman & Mooney, 2019).

Mengapa pemecahan masalah ini dimulai dari lingkungan pendidikan? Sebab, berdasarkan penelitian di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadi-aat Lirboyo Kediri, pendidikan seksual sangat berperan untuk mempengaruhi tingkat literasi kesehatan siswa dengan memperhatikan media yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar tersebut (Isyroofanaa, Faizah, & Utomo, 2019).

Oleh karena itu, kita dapat mencoba mengadopsi kurikulum pendidikan seksual yang dilaksanakan di Boston tersebut untuk Indonesia. Walaupun sebenarnya pada sekolah menengah negeri di Indonesia sendiri telah tersedia PIK-R untuk sosialisasi seperti ini, akan tetapi dalam implementasinya masih kurang.

Terlebih lagi, sifatnya yang tidak wajib membuat keberadaannya kurang dirasakan oleh siswa-siswa sekolah menengah dalam mendapatkan pendidikan seksual yang memuat tentang literasi kesehatan dan pornografi dan key concept Comperhensive Sexuality Education lainnya (Wijhati, Pratiwi, & Nuzuliana, 2020).

Solusi kedua yang dapat dilakukan adalah perlunya peran aktif dari berbagai pihak. Penanaman literasi kesehatan seksual dan reproduksi sebagai upaya pencegahan paparan pornografi tentu bukan hanya tanggung jawab guru sebagai pendidik anak di sekolah. Orang tua juga wajib mengedukasi anak-anaknya tentang pembahasan tersebut.

Bahkan dari sedini mungkin, harusnya orang tua sudah menanamkan konsep literasi kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak-anak mereka. Di sini, orang tua dituntut menjadi kritis untuk mengedukasi anak-anak mereka hingga membantu mengarahkan sang buah hati untuk melakukan aktivitas positif. Hal itu demi menghindari paparan pornografi dan lain sebagainya.

Selain itu, orang tua bisa mengenalkan dan menerapkan "L O V E" . Apabila dijabarkan menjadi:

  • L (diajarkan pada anak 0-2 tahun): Labeli anggota tubuh anak dengan penamaan yang tepat, jangan menggunakan nama lain.
  • O (diajarkan pada anak 3-5 tahun): Organ Privat tidak boleh disentuh oleh sembarangan orang.
  • V (diajarkan pada anak 6-8 tahun): Vulva dan Penis care atau ajarkan anak untuk cara menjaga dan merawat kebersihan organ privat serta pengetahuan umum tentang seksual.
  • E (diajarkan pada anak 9-12 tahun): Ekspektasi atau persiapan dalam menghadapi perubahan ketika pubertas.

Kita perlu menyesuaikan tingkat pendidikan seksual berdasarkan umur karena terdapat pendapat bahwa semakin bertambahnya umur maka seseorang akan semakin matang dalam berpikir dan memproses banyaknya informasi yang telah mereka diterima (Susanti & Indraswari, 2020). Selain itu, harapannya adalah agar anak tidak berusaha mencari tahu sendiri istilah-istilah tersebut, sehingga anak minim terpapar pornografi.